Sukses

Bolehkah Sholat Istikharah Setiap Hari? Ini Jawaban Mengejutkan Buya Yahya

Buya Yahya menjelaskan perihal hukum melaksanakan sholat Istikharah.

Liputan6.com, Cilacap - Islam mengajarkan tatkala merasa bimbang untuk memilih satu di antara dua hal, maka disunahkan untuk melaksanakan sholat Istikharah untuk mendapatkan pilihan yang terbaik menurut Allah SWT.

Terdapat pertanyaan yang cukup menarik seputar sholat Istikharah ini yakni bolehkah sholat Istikharah dilaksanakan setiap hari?

Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menerangkan perihal hukum melaksanakan sholat Istikharah setiap hari.

Hal ini beliau uraikan secara jelas dan gamblang dalam salah satu kesempatan ceramahnya sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @buyayahyaofficial, Sabtu (07/09/2024).

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Sholat Istikharah Setiap Hari

Buya Yahya menegaskan bahwa sebagian ulama mengajarkan untuk melaksanakan sholat Istikharah setiap hari. Hal ini dimaksudkan agar setiap hari langkah kita dalam apapun dipilihkan sesuatu yang terbaik oleh Allah SWT.

“Nabi mengajarkan kita untuk minta dipilihkan yang terbaik kepada Allah dalam segalanya,” terarngnya

“Kalau sudah segalanya, jangan dibatasi artinya urusan dunia. Sampai sebagian para ulama mengajarkan agar kita setiap malam tidak lupa istikharah karena setiap hari kita itu pasti memilih antara pergi tidak pergi, pergi ke sana atau pergi ke situ dan seterusnya," tambahnya lagi.

"Sehingga tidak meninggalkan istikharah di malam hari agar dipilihkan oleh Allah di esok hari," tandasnya.

Buya Yahya juga menegaskan, sholat Istikharah merupakan sunah muakkad atau sunah yang dikukuhkan.

Sunah yang sangat dikukuhkan sebagian mengatakan seperti itu, sangat diharap di saat kita bimbang di antara dua hal bukan urusan ibadah," terangnya.

3 dari 3 halaman

Tata Cara Sholat Istikharah

Menukil NU Online, secara teknis, shalat istikharah dilakukan sebanyak dua rakaat dengan niat sebagai berikut:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatal istikhârati rak’ataini lillâhi ta’âlâ. Artinya, “Aku berniat shalat sunnah istikharah dua rakaat karena Allah ta’ala.”

Sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Kafirun; sementara pada rakaat kedua membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlash. Kemudian, selesai salam membaca doa berikut:

اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِيْ وَدُنْيَايَ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ وَعَـاجِلِهِ وَآجِـلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَبَارِكْ لِي فِيهِ ثُمَّ يَسِّرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِيْ وَدُنْيَايَ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ عَاجِلِهِ وَآجِـلِهِ فَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ أَيْنَـــمَا كَانَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidina muḫamamdin, Alḫamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Allâhumma innî astakhîruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa lâ aqdiru, wa ta’lamu wa lâ a’lamu, wa anta ‘allâmul ghuyûb. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hâdzal amra khairun lî fî dînî wa dun-yâya wa ‘âqibati amrî ‘âjilihi wa âjilihi faqdurhu lî wa bârik lî fîhi tsumma yassirhu lî. Wa in kunta ta’lamu anna hâdzal amra syarrun lî fî dînî wa dun-yâya wa ‘âqibati amrî ‘âjilihi wa âjilihi fashrifnî ‘anhu washrfhu ‘annî waqdur liyal khaira haitsu kâna ainamâ kânû innaka ‘alâ kulli syai-in qadîr. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidina muḫamamdin, walḫamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah dengan pengetahuan-Mu, aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan sementara aku tidak mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam bagi agamaku, kehidupanku, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka takdirkanlah hal tersebut untukku. Mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku.

Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, akhir urusanku, diniaku, dan akhiratku, maka palingkanlah aku darinya dan palingkanlah dia dariku. Takdirkanlah yang terbaik untukku apa pun keadaannya. Sesungguhnya engkau Yang Maha Bisa atas segala sesuatu.” Selesai membaca doa, kita sebutkan permohonan kita. Doa ini bersumber dari salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari hadits Jabir bin ‘Abdillah. Penulis menambahkan shalawat, salam, dan hamdalah pada akhir dan awal doa sebagaimana anjuran Imam an-Nawawi. (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, juz I, halman 206).

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul