Liputan6.com, Jakarta - Kebersihan dan kesucian merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Di antaranya taharah dengan berwudhu yang menjadi syarat sah sebelum menunaikan sholat.
Wudhu juga memiliki serangkaian gerakan yang ditujukan untuk membersihkan anggota tubuh. Setiap gerakan juga dapat disertai dengan bacaan doa. Namun, penting juga untuk memerhatikan beberapa hal yang menjadi penyebab batalnya wudhu.
Advertisement
Baca Juga
Merujuk pada mazhab Syafi'i salah satu hal yang membatalkan wudhu adalah menyentuh lawan jenis yang bukan mahram. Hal ini berdasarkan ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah (rambut) kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. Al-Ma’idah Ayat 6)
Lantas, bagaimana hukum jika orang dewasa bersentuhan dengan anak kecil lawan jenis yang bukan mahram, apakah wudhunya tetap sah atau batal? Berikut penjelasannya mengutip dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Batas Usia Anak Kecil yang Membatalkan Wudhu ketika Disentuh
Para ulama mengecualikan dari batalnya menyentuh orang lain yang bukan mahram, yaitu anak yang masih kecil dan belum sampai pada usia yang bisa menimbulkan syahwat. Berbeda halnya orang berlainan jenis kelamin bukan mahram yang telah sampai pada usia yang bisa menimbulkan syahwat, maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu meskipun orang yang punya wudhu tidak bersyahwat pada wanita atau laki-laki yang disentuhnya.
Tentang batasan usia anak kecil yang tidak membatalkan wudhu ini para ulama memberikan pandangan bahwa yang menjadi pijakan adalah ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Sehingga tidak ada ketentuan usia khusus yang menjadi patokan dalam menentukan batas usia anak kecil yang tidak membatalkan wudhu ini.
Namun sebagian ulama lain ada yang menjadikan patokan khusus dalam menentukan usia anak yang sudah tidak masuk dalam kategori ini. Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Syekh Yusuf as-Sanbalawini bahwa usia tujuh tahun adalah batas akhir dari anak yang tidak menimbulkan syahwat, sehingga ketika anak sudah berusia tujuh tahun maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu.
Sedangkan anak yang dianggap masih dalam tahapan tidak disyahwati adalah anak yang masih berusia lima tahun ke bawah, sehingga menyentuhnya tidak membatalkan. Sedangkan anak yang berusia enam tahun, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama antara yang berpendapat membatalkan dan tidak membatalkan.
Advertisement
Kesimpulan
Ketentuan demikian seperti yang terdapat dalam kitab Mirqah Shu’ud at-Tashdiq:
ـ (ولمس بشرة الأجنبية مع كبر) يقينا فلا تنقض صغيرة لا تشتهى لأنها ليست في مظنة الشهوة. والمرجع في المشتهاة وغيرها إلى العرف على الصحيح. قال الشيخ أبو حامد: التي لا تشتهى من لها أربع سنين فما دونها أفاد ذلك الدميري. وقال شيخنا يوسف السنبلاويني: فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان أوأنثى وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق. وأما إذا بلغ ستّ سنين ففيه خلاف فقيل ينقض وقيل لا. وهذا يرجع إلى طباع الناس حتّى أنّ الولد الذي بلغ خمس سنين فقط ينقض لمن يشتهيها ولا ينقض لغيره
“Dan (di antara hal yang membatalkan wudhu) menyentuh kulit wanita lain (bukan mahram) yang telah besar secara yakin. Maka tidak batal menyentuh gadis masih kecil yang tidak menimbulkan syahwat, sebab ia bukanlah orang yang layak untuk dijadikan sebagai madzinnah as-syahwat (objek yang diduga kuat akan menimbulkan syahwat). Parameter dalam penentuan wanita yang disyahwati dan yang tidak disyahwati adalah urf (kebiasaan manusia setempat) menurut pendapat yang sahih.
As-syaikh Abu Hamid berkata: ‘perempuan yang tidak disyahwati adalah orang yang masih berusia empat tahun dan usia di bawahnya’ hal ini dikutip oleh Imam Ad-Damiri. Guruku, Yusuf As-Sanbalawini berkata, ‘ketika anak telah berusia tujuh tahun maka (menyentuhnya) dapat membatalakan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Baik laki-laki maupun perempuan. Dan ketika berusia lima tahun maka (menyentuhnya) tidak membatalkan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan ketika berusia enam tahun maka terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat membatalkan ada pula yang berpendapat tidak membatalkan. Ketentuan ini berpijak pada perwatakan manusia, sampai seandainya anak yang berusia lima tahun saja (menyentuhnya) dapat membatalkan wudhu bagi orang yang merasa syahwat padanya dan tidak membatalkan bagi orang yang tidak syahwat padanya.” (Muhammad bin ’Umar Nawawi al-Bantani, Mirqah Shu’ud at-Tashdiq, hal. 44)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa batas usia anak yang tidak membatalkan wudhu sebenarnya ditentukan oleh ‘urf atau common sense sehingga pijakannya bisa berbeda-beda sesuai dengan budaya umumnya masyarakat setempat. Namun sebagian ulama berpandangan bahwa batas usia akhir anak yang tidak membatalkan wudhu ketika disentuh adalah berusia tujuh tahun, sehingga dengan demikian baiknya bagi kita untuk menghindari menyentuh anak yang sudah berusia tujuh tahun walaupun sejatinya anak tersebut masih belum memunculkan rasa syahwat pada kita, hal ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati (ihtiyath) atas menyikapi berbagai pandangan ulama dalam menyikapi hal ini. Wallahu a’lam.