Liputan6.com, Jakarta - Banyak orang yang terbiasa untuk menjaga wudhu agar tidak batal akibat hadas kecil. Hadas kecil bisa disebabkan karena buang hajat seperti kencing dan buang air besar, kentut, tidur, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan lain sebagainya.
Hal ini tentunya baik selama dilakukan secara wajar, tapi dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi kurang baik. Misalnya, seorang istri atau suami yang sedang menjaga wudhu merasa tidak nyaman ketika pasangan mendekat padanya.
Advertisement
Baca Juga
Sikap tersebut dapat berakibat pada keharmonisan rumah tangga yang semakin menjauhkan kehangatan hubungan antara suami dan istri. Padahal padahal bersikap hangat dan romantis terhadap pasangan merupakan hal yang dilakukan Rasulullah SAW.
Lantas sikap seperti apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang muslim? Apakah lebih baik menjaga wudhu agar tidak batal atau justru memperbarui wudhunya?
Saksikan Video Pilihan ini:
Sunnah Memperbarui Wudhu Menurut Mazhab Syafii
Mengutip dari laman NU Online, Imam Nawawi (wafat 656 H) menyatakan semua kalangan syafi'iyyah telah bersepakat bahwa orang yang mempunyai wudhu pertama sunnah melakukan wudhu kembali tanpa menunggu wudhu pertama batal terlebih dahulu.
اِتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِ تَجْدِيْدِ الْوُضُوْءِ وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ عَلَى وُضُوْءٍ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَحْدِثَ
Artinya: “Kalangan Syafi'iyah telah bersepakat atas kesunahan memperbarui wudhu, yaitu ketika ada orang yang dalam kondisi punya wudhu kemudian wudhu lagi tanpa menunggu hadas terlebih dahulu,” (Lihat Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu', cetakan Maktabah Al-Irsyad, juz I, halaman 494).
Meski boleh, ulama berbeda pendapat tentang kapan disunahkannya wudhu tersebut.
Advertisement
Kapan Disunnahkan Memperbarui Wudhu?
Pertama, orang yang mempunyai wudhu, meskipun belum batal, ia disunahkan wudhu lagi apabila ia minimal telah melaksanakan sholat, bisa berupa sholat fardhu atau sunnah.
Ini pendapat paling shahih sebagaimana yang diikuti oleh Al-Baghawi. Jadi apabila seseorang masih mempunyai wudhu dan belum pernah digunakan untuk menjalankan sholat baik sholat fardhu atau sunnah, ia tidak disunnahkan untuk melakukan wudhu lagi.
Pendapat kedua, seseorang disunnahkan wudhu lagi jika dengan wudhu pertama tadi sudah digunakan untuk sholat fardhu. Berbeda dengan pendapat pertama.
Menurut pendapat yang diikuti oleh Al-Faurani ini hanya menganggap sunnah wudhu lagi apabila wudhu yang pertama sudah digunakan untuk melaksanakan sholat wajib.
Jika baru digunakan sholat sunnah saja, tidak disunnahkan wudhu lagi. Contoh, ada orang bangun tidur lalu berwudhu pada pukul 02.00 dini hari.
Kemudian ia menjalankan sholat malam, membaca Al-Qur'an dan sebagainya sampai masuk waktu subuh. Karena ia belum menggunakan wudhu tersebut untuk melaksanakan sholat fardhu sama sekali, orang ini tidak disunnahkan wudhu kembali.
Hal ini apabila mengikuti pendapat yang kedua. Namun apabila mengikuti pendapat pertama, ia sudah mendapatkan tuntutan sunnah wudhu lagi meskipun belum batal dari wudhu pertama.
Kapan Disunnahkan Memperbarui Wudhu?
Ketiga, orang disunnahkan wudhu lagi apabila ia sudah menjalankan kegiatan yang telah ia rencanakan dalam wudhu yang pertama. Seumpama ada orang ingin membaca Al-Qur'an pada pukul 11.00 siang hari, lalu ia melaksanakan wudhu dengan tujuan supaya ia bisa memegang atau membawa Al-Qur'an.
Karena ia wudhu dalam rangka supaya bisa memegang Al-Qur'an, maka selepas ia memegang Al-Qur'an, jika ia ingin wudlu kembali tanpa menunggu batal, ia mendapatkan pahala sunnah. Jika mengacu pendapat ini, apabila orang yang wudhu tapi belum menyentuh Al-Qur'an sebagaimana tujuan ia dalam berwudhu, ia tidak disunnahkan wudhu kembali. Pendapat ini disampaikan oleh As-Syasyi dalam dua kitabnya Al-Mu'tamad dan Al-Mustadzhiriy dalam bab masalah air.
Keempat, jika wudlu pertama sudah pernah dibuat untuk sholat baik wajib atau sunnah, atau sudah digunakan untuk sujud tilawah, sujud syukur, membaca Al-Qur'an atau mushaf. Kalau wudhu pertama sudah digunakan untuk menjalankan ibadah tersebut, ia disunnahkan memperbarui wudhu meskipun belum batal wudhu yang pertama. Pendapat ini disampaikan oleh Syekh Muhammad Al-Juwaini dalam permulaan kitabnya Al-Faruq.
Kelima, orang yang mempunyai wudhu disunnahkan memperbarui wudhunya lagi walaupun belum pernah digunakan untuk beribadah sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Haramain.
Walaupun Imam Al-Haramain ini mengatakan demikian, ia berpendapat bahwa sunnahnya memperbarui wudhu mestinya harus ada jeda atau pemisah, tidak seketika menyambung pada wudhu yang kedua. Adapun masalah mandi, tidak ada kesunnahan memperbaruinya sebagaimana dalam wudhu. Wallahu a'lam
Advertisement