Sukses

Kisah Santri Bikin Bandar Judi Gulung Tikar dan Tamat Riwayat Berbekal Duit Sakti Kiai

Si santri diberi sejumput uang kerincing. Entah berapa jumlahnya. Uang itu disimpan dalam kanjut, semacam kantong kain gelap untuk menyimpan uang pada masa itu. Oleh kiai dia disuruh mengalahkan bandar judi dengan duit sakti itu

Liputan6.com, Cilacap - Nun, pada zaman dahulu, tersebut seorang ulama kharismatik di pegunungan Cilacap. Namanya KH Abdullah Sayuti. akrab dipanggil Kiai Sayuti atau Mbah Sayuti.

Mbah Sayuti diyakini bukan ulama biasa. Beliau adalah seorang wali Allah. Lazimnya wali, Mbah Sayuti dianugerahi karomah.

Mbah Sayuti tinggal di Desa Pesahangan, Kecamatan Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah. Pesahangan adalah desa pegunungan yang kental dengan suasana islami.

Meski begitu, di masa lalu, ada kebiasaan buruk yang sukar dihilangkan, judi. Judi dadu begitu populer di kalangan masyarakat pedesaan. Judi dadu juga disebut dengan kopyok.

Bandar judi selalu membuka lapak di hajatan warga. Secara rutin, pada malam tertentu, bandar juga membuka praktik di pasar desa. Meski selalu kalah, namun ternyata banyak orang yang kencaduan.

Muskil penjudi atau pemasang taruhan menang. Pasalnya, kesempatan angka yang keluar hanya tiga berbanding 18.

Syahdan, judi dadu semakin mengkhawatirkan seiring masuknya minuman keras lokal, tuak. Desa yang semula relatif aman dari judi dan tuak, kini tak luput dari incaran bandar judi. Ada empat bandar judi terkenal saat itu, Surbani, Tirso, Pangi, Kanan, dan Payat.

“Tadinya tidak ada yang masuk ke Pesahangan. Mungkin karena segan dengan Mbah Sayuti. Tapi lama-kelamaan masuk juga,” kata Basuki, salah satu warga, yang kala itu masih remaja.

Usia Basuki tak muda lagi. Dia lahir pada 1962. Dan fenomena judi Kopyok itu terjadi tatkala ia berumur sekitar 17 atau 18 tahun. Saat itu Basuki adalah seorang bujang tanggung.

Boleh dibilang, Basuki adalah khodam atau pembantu Mbah Sayuti. Basuki mengaji ke Mbah Sayuti sehingga bisa pula disebut sebagai santri Mbah Sayuti.

Dia berkisah, kala itu bandar judi sudah tak lagi segan dengan kiai dan tokoh masyarakat. Nyaris tiap malam mereka membuka lapak di pasar desa. Kekhawatiran warga tak luput dari ulama kharismatik, Mbah Suyuti. Mbah Suyuti dikenal sebagai kiai yang tegas lagi menguasai ilmu karomah.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Ulah Bandar Judi Bikin Mbah Sayuti Marah

Melansir kanal Islami Liputan6.com, semula, para bandar judi hanya membuka lapak sekali sepekan. Bertambah ramai, dua atau tiga kali sepekan. Lama kelamaan mereka buka lapak tiap malam. Pasar Senin pun berubah jadi pasar malam, tanpa mainan anak. Lagu-lagu melayu meruar dari radio-radio hingga kampung tetangga.

Kebanyakan orang-orang yang datang berasal dari luar desa. Tetapi, belakangan, orang-orang desa pun banyak terseret. Satu kejahatan akan memicu kejahatan lainnya. Ini lah yang lantas terjadi tanpa bisa dicegah. Judi memunculkan sikap tamak.

Terlebih, saat beberapa warung menyediakan tuak. Dalam keadaan kalah dan mabuk, beberapa orang kalap. Beberapa di antaranya terpaksa mboreh kambing, lainnya memanggul gabah simpanan.

Usai kalap, mereka beradu gengsi. Khawatir dituduh pengecut, mereka nekat berutang dengan sistem ijon. Uang untuk taruhan itu diganti dengan hasil panenan yang entah berapa jumlahnya. Tanpa disadari, judi telah mengancam orang-orang ke jurang kehancuran. Keluarga menjadi taruhan.

Ulah lima begundal yang disokong para penjudi itu pun sampai juga ke Mbah Sayuti. Basuki bilang, baru kali itu ia melihat Mbah Sayuti menujukkan amarah, meski tanpa kata-kata. Untuk beberapa detik, wajah Mbah Sayuti yang biasanya teduh memerah.

Tiba-tiba, Mbah Sayuti masuk ke dalam biliknya. Semua yang menyaksikan itu terdiam. Mereka khawatir justru menambah marah Mbah Sayuti.

Selang sehari setelah Mbah Sayuti mendengar kebiasaan buruk di Pasar Senin, Basuki dipanggil secara pribadi. Basuki boleh dibilang adalah pembantu kepercayaan Mbah Sayuti. Istilah santrinya, penderek. Ia turut ke mana pun Mbah Sayuti pergi. Entah kondangan, atau mengisi pengajian.

Basuki pun berpikir sama. Mungkin saja dia akan diajak mengiring ke desa tetangga untuk mengisi pengajian, atau hanya sekadar memijit kaki Mbah Sayuti. Maklum, usia Simbah sudah sepuh.

Tetapi dugaan itu keliru. Basuki diberi sejumput uang kerincing. Entah berapa jumlahnya. Uang itu disimpan dalam kanjut, semacam kantong kain gelap untuk menyimpan uang pada masa itu.

“Ini nanti kamu pasang taruhan,” Basuki menirukan perintah Mbah Sayuti.

3 dari 4 halaman

Diperintah Kiai, Santri Kalahkan Bandar Judi

Basuki tak pernah sekali pun berjudi. Bahkan, ia pun tak terlampau paham bagaimana sistem permainan judi dadu. Tetapi, tanpa banyak tanya Basuki mematuhi perintah Mbah Sayuti, meski di benaknya bergelayut banyak pertanyaan.

Satu yang paling dikhawatirkan saat itu adalah kalah dan uangnya habis. Namun, sebagai penderek, Basuki sudah beberapa kali menyaksikan sisi keistimewaan Mbah Sayuti. Ini lah yang membuatnya mantap menembus kegelapan malam dan masuk ke kalangan pasar Senin.

Lima bandar judi memilih tempat berbeda-beda. Ada yang di tengah pasar, ada pula yang di bagian pojok. Tanpa alasan, Basuki memilih untuk pasang di lapak Surbani, bandar judi kawakan asal desa sebelah utara Pesahangan.

Basuki bukan orang yang dikenal di antara para penjudi. Maklum, sehari-hari kegiatannya hanya berkisar ke surau, pondok, kebun, dan sesekali mengiringi Mbah Sayuti. Wajahnya tak begitu dikenal oleh orang-orang.

Basuki pasang sekali, tanpa diduga, angka yang dipilihnya keluar. Ia pun menang taruhan. Pasang kedua kalinya, dadu menggelepar dan ajaibnya persis sama dengan angka yang dipasang. Berkali-kali terjadi keajaiban ini.

Singkat cerita, Surbani gulung tikar. Ia kehabisan modal dan balik kandang dengan muka ditekuk. Baru kali ini ia kalah oleh penjudi. Terlebih, ia kalah oleh bujang bau kencur. Satu wajah yang belum sekali pun dilihatnya di kalangan.

Saking malunya, Surbani tak berkata apa-apa. Orang-orang hanya menyangka Surbani tidak enak badan sehingga pulang lebih cepat dari biasanya.

Basuki pulang dan lantas memberikan semua uang hasil menang judi kepada Mbah Sayuti. Simbah tak berkata apa-apa. Simbah hanya menyuruh Basuki makan dan beristirahat.

Malam kedua, Basuki kembali dipanggil. Ia kembali dibekali dengan uang receh satu kanjut. Jumlahnya diduga sama dengan yang diberikan Simbah pada malam pertama.

Serupa yang dilakukannya pada malam pertama, ia memilih bandar judi secara acak. Malam itu, ia memilih Pangi, bandar judi kawakan yang berasal dari kawasan Bawah. Pangi kondang sebagai bandar yang lihai. Itu sebab, ia bertahan puluhan tahun di pegunungan, nyaris tanpa pernah kalah.

Kelihaiannya itu membuatnya sombong dan congkak. Terlebih, konon ceritanya Pangi punya jimat yang sukar dicari tandingannya. Tetapi, malam itu, Pangi dibuat lunglai. Pasangan angka Basuki selalu tepat.

 

4 dari 4 halaman

Bandar Judi Tamat Riwayat

Malam itu, orang-orang mulai mengenal Basuki sebagai penjudi ulung misterius. Mereka tak tahu dari mana ia berasal. Pertarungan Basuki si pemasang dengan Pangi yang bandar menjadi tontonan. Orang-orang malam itu riuh bersorak. Untuk pertama kali mereka melihat Pangi Tumbang.

Kasak-kusuk mulai terdengar, mempertanyakan asal muasal bocah baru gede yang mengalahkan Pangi. Basuki menemukan kepercayaan dirinya. Momentum itu ia manfaatkan untuk masuk kalangan berikutnya, milik Tirso, bandar judi yang berasal dari desa yang sama dengan Surbani, bandar yang dikalahkannya pada malam pertama.

Serupa dengan Pangi, Tirso menganggap dirinya orang hebat. Bahkan, ia merasa dirinya yang paling hebat. Barangkali, sombong dan congkak ini memang sifat khas para bandar judi.

Namun, tak sampai hitungan dua jam, hanya lewat tengah malam lebih sedikit, Tirso pun tak bisa berkutik. Ia ditumbangkan oleh seorang bujang tanggung yang entah muasalnya. Basuki pun langsung kondang.

Malam ketiga, orang-orang sudah tak lagi memikirkan hiburan atau pasang taruhan. Muasal Basuki telah diketahui sebagai murid Mbah Sayuti. Nama kiai yang, mereka, hanya untuk mengucapkannya saja penuh dengan ketakziman.

Bagi orang-orang, tontonan gratis Basuki pasang taruhan ke dua bandar terakhir lebih menarik. Bahkan, malam itu yang berkumpul di Pasar Senin bukan hanya penjudi. Ibu-ibu, embah-embah, anak-anak dan remaja turut menonton.

Ibu-ibu sebenarnya tak terlampau peduli dengan pertandingan penentuan itu. Mereka lebih mempedulikan periuk mereka yang terancam lantaran suami mereka keranjingan judi dan tuak. Tak usah ditebak, di mana mereka berpihak malam itu.

Beda lagi dengan anak-anak. Menonton orang berjudi barang kali sama serunya dengan adu jangkrik di sawah-sawah. Pun mereka tak peduli dengan apa yang ditonton. Alasan anak-anak kadang-kadang bikin geli saat datang ke keramaian. Menonton orang yang nonton. Sederhana bukan?

Sorak sorai bergemuruh lebih kencang dari malam-malam sebelumnya. Selain lebih banyak pengunjung, lengkingan perempuan barang kali adalah suara paling berisik di muka bumi. Saat mereka suara bersatu, tak terbayangkan efeknya.

Basuki beraksi. Secara berurutan ia mengalahkan dua bandar judi tersisa, Kanan dan Payat. Dua bandar judi kawakan yang berasal dari daerah bawah. Mereka terkenal karena selalu disertai pengiring, atau lebih tepatnya pengawal alias centeng.

Tak usah diceritakan bagaimana Basuki mengalahkan mereka. Yang jelas, ibu-ibu bergembira. Malam itu, riwayat para bandar judi di Pesahangan tamat. Mereka tak lagi berani menampakkan batang hidungnya lantaran dirundung malu.