Liputan6.com, Cilacap - Ulama masyhur, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani merupakan wali masyhur dan agung yang mendapatkan julukan rajanya para wali (sulthanul awliya).
Beliau dilahirkan di negeri Jailan atau Jilan, sebuah negeri bawahan Tobaristan, sebuah wilayah kuno bersejarah yang kini berada di wilayah Iran.
Sebagai seorang waliyullah, beliau memiliki beberapa karomah yang sangat menakjubkan yang susah dicerna oleh akal.
Advertisement
Salah satu karomah yang beliau miliki ialah ketika sang raja kembali menjadi seorang pembantu sebab membohongi dirinya.
Baca Juga
Berikut ini kisah selengkapnya karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagaimana disarikan dari tayangan YouTube Short @pejalansunyi91, Minggu (29/09/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Ingin Mendapatkan Posisi Istimewa
Syekh Abdul Qadir al-Jilani memiliki seorang pembantu yang setia selama 40 tahun. Ketika pembantu tersebut melihat murid-murid Syekh mendapatkan posisi penting, Ia pun meminta Syekh untuk memberinya posisi yang sama.
Syekh Abdul Qadir setuju dengan sebuah syarat. Adapun syarat tersebut ialah pembantu itu harus menyerahkan setengah dari kekayaannya nanti. Pembantu itu kemudian diangkat menjadi raja di India.
Ketika pembantu tersebut telah sukses menjadi raja, perangai buruk muncul dalam hatinya. Kekayaan dan kekuasaan membuatnya melupakan janji tersebut.
Advertisement
Kembali Menjadi Pembantu Sebab Membohongi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Ketika Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengingatkannya, Raja tersebut mencoba menipu dengan memberikan harta yang sebenarnya hanya sebagian kecil dari kekayaannya.
Syekh lalu meminta anak raja itu sebagai bagian dari perjanjian. Raja pun marah, dengan kedua mata terpejam ia hendak menyerang Syekh.
Namun, ketika ia membuka matanya ia tersadar bahwa ia masih berada di dapur sedang mengaduk masakan.
Syekh Abdul Qadir berkata: “kau belum siap menjadi wakilku karena kau belum sepenuhnya menyerahkan dirimu.”
Kisah ini mengajarkan bahwa kita harus memahami dan menerima pemberian Allah SWT yang sejatinya sangat baik untuk diri kita, bukan memaksakan sesuatu yang sebenarnya berdampak buruk pada diri kita.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul