Sukses

Kisah KH Hamid Pasuruan Menangis dan Tak Mampu Berdiri saat Mahalul Qiyam, Ternyata Rasulullah Berada di Depannya

Saat tiba waktu berdiri untuk Mahalul Qiam, semua yang hadir ikut berdiri sebagai tanda penghormatan. Namun, Kiai Hamid tampak tidak berdiri. Ternyata ini yang terjadi, sampai buat sang kiai menangis tak berdaya.

Liputan6.com, Jakarta - Pada suatu hari yang istimewa, KH Hamid Pasuruan mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad di kediamannya yang terletak dekat Masjid Jami Kota Pasuruan.

Acara ini dihadiri oleh banyak tamu undangan, termasuk para masyayikh dan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU), serta pengasuh pesantren. Di antara para tamu tersebut, Kiai As'ad Syamsul Arifin dari Pesantren Salafiah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, hadir sebagai tamu kehormatan.

Dikutip dari kanal YouTube @Al-hidayah1923, suasana peringatan tersebut digambarkan sangat khidmat dan penuh keagungan. Kiai As'ad duduk di sebelah kanan Kiai Hamid, sementara sebelah kiri diduduki oleh Kiai Ahmad Siddiq dari Jember.

Kehadiran para ulama besar ini memberikan nuansa yang sangat istimewa pada acara tersebut.

Saat tiba waktu berdiri untuk Mahalul Qiyam, semua yang hadir ikut berdiri sebagai tanda penghormatan. Namun, Kiai Hamid tampak tidak berdiri.

Hal ini membuat para tamu yang berjumlah ribuan menjadi terheran-heran dan penasaran dengan sikap Kiai Hamid. Momen tersebut membuat suasana menjadi tegang, karena mereka tidak mengerti alasan di balik ketidakberdayaan Kiai Hamid untuk berdiri.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Kiai Hamid sampai Menangis, Ternyata Ini yang Terjadi

Setelah acara selesai dan para tamu mulai pulang, tinggalah dua Kiai sepuh dan para masyaikh. Kiai As'ad pun merasa perlu untuk menanyakan kepada Kiai Hamid perihal sikapnya. "Bagaimana ini, Kiai? Kenapa Anda tidak berdiri saat membaca sholawat?" tanya Kiai As'ad dengan penuh rasa ingin tahu.

Kiai Hamid menjawab dengan suara yang penuh emosi, tangisannya semakin pecah. "Saya tidak punya daya untuk berdiri, sebab Kanjeng Nabi berdiri tepat di depan saya," ungkapnya.

Dengan air mata yang mengalir, Kiai Hamid menjelaskan bahwa dirinya merasa tidak pantas bertemu dengan sosok yang mulia seperti Nabi Muhammad SAW.

Perasaan rendah diri dan hormat kepada Kanjeng Nabi menggambarkan kedalaman spiritual Kiai Hamid. Ia merasakan bahwa akhlaknya jauh dari cukup untuk berdiri di hadapan Nabi, bahkan dalam perayaan yang penuh berkah tersebut.

"Saya merasa kehabisan akhlak, jangankan ilmu, ibadah, dan mujahadah, dari pakaian pun saya malu bertemu Kanjeng Nabi," tambahnya.

Kisah ini diceritakan oleh Kiai As'ad Syamsul Arifin dalam sebuah majelis kepada para santrinya. Momen tersebut menjadi pengingat bagi banyak orang tentang pentingnya adab dan akhlak dalam beribadah, serta bagaimana seharusnya sikap kita terhadap Nabi Muhammad SAW.

3 dari 3 halaman

Pelajaran dari Karomah Ini

Karomah Kiai Hamid ini menunjukkan betapa tingginya rasa cinta dan hormat beliau kepada Nabi Muhammad. Pengalaman ini pun menjadi pelajaran berharga bagi santri dan masyarakat untuk selalu menjaga hubungan yang baik dengan Allah dan Rasul-Nya.

Cerita tentang Kiai Hamid Pasuruan tidak hanya mengajarkan tentang tata krama, tetapi juga membangkitkan rasa cinta yang dalam kepada Kanjeng Nabi. Dalam setiap pengajian, para ulama sering kali menekankan bahwa mencintai Nabi adalah bagian tak terpisahkan dari iman.

Kiai Hamid Pasuruan dikenang sebagai sosok yang sangat mendalami ajaran Islam. Dengan karomahnya, beliau mengajarkan bahwa rasa malu dan cinta kepada Nabi adalah cermin dari keimanan seseorang. Karomah ini menambah khazanah spiritual yang ada dalam tradisi pesantren, serta memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.

Sebagai generasi penerus, penting bagi kita untuk selalu meneladani sikap Kiai Hamid yang penuh penghormatan kepada Kanjeng Nabi. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap ini bisa diterapkan dengan menghargai ajaran-ajaran Nabi dalam setiap aspek hidup.

Karomah Kiai Hamid Pasuruan yang menakjubkan ini tidak hanya menjadi sebuah cerita, tetapi juga sebuah pengingat akan pentingnya akhlak dalam beragama. Dalam setiap kesempatan, kita harus senantiasa memperbaiki diri dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dalam kehidupan.

Dengan demikian, kisah ini seharusnya menjadi dorongan bagi kita untuk lebih mencintai dan mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan.

Semoga kita semua dapat meneladani akhlak mulia Kiai Hamid dan menjadikan peringatan Maulid Nabi sebagai momen untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul