Sukses

3 Jenis Pernikahan Terlarang dalam Islam, meskipun dengan Alasan Menghindari Zina

Menikah adalah niat yang mulia, namun beberapa jenis pernikahan ini justru diharamkan atau tidak sah dalam islam. Selain dilarang karena tidak sesuai syariat, hal ini juga sebagai bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan.

Liputan6.com, Jakarta - Pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Jika mempunyai rencana untuk menikah, maka niatkanlah semuanya untuk menjalankan perintah Allah dan beribadah kepada-Nya.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

“Apabila seorang hamba menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.” 

Namun penting untuk diketahui, terdapat beberapa jenis pernikahan yang diharamkan dalam Islam meskipun dengan alasan untuk mencegah diri dari zina.

Mengutip dari laman bincangmuslimah.com, Sayyid Salam menjelaskan dalam kitab Fiqih al-Sunnah bahwa terdapat tiga macam pernikahan yang dilarang dan tidak sah meski kedua belah pihak pengantin saling ridha.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 4 halaman

1. Nikah Tanpa Wali

Pernikahan tanpa wali tidak sah meski dengan alasan untuk menghindari zina. Sayyid Salam mengatakan;

إنه صلى الله عليه وسلم أبطل من النكاح الذي يتراضى به الزوجان سدا لذريعة الزنا فمنها: النكاح بلا ولي، فإنه أبطله سدا لذريعة الزنا، فإن الزنا لايعجز أن يقول للمرأة: (أنكحيني نفسك بعشرة دراهم)  ويشهد عليهما رجلين من أصحابه أو غيرهم

“Sesungguhnya Rasulullah membatalkan pernikahan yang mana saling ridha pasangan suami istri itu, meski untuk mencegah zina, di antaranya nikah tanpa wali, sesungguhnya akadnya batal meski untuk mencegah zina. Sebab mencegah perzinaan tidak mungkin cukup dengan dikatakan kepada wanita itu: Menikahlah kamu denganku dengan sepuluh dirham, dan kemudian disaksikan dengan dua orang temannya dan selainnya.”

Ketika menikah, pihak perempuan harus mempunyai wali yang menikahkannya dengan laki-laki yang akan menjadi calon suaminya.

Adanya wali yang menikahkan kedua belah pihak pengantin termasuk merupakan syarat sah pernikahan demikian sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Fiqh Al Manhaji Ala Madzhab Al Imam Al Syafii karangan Syaikh Musthafa al-Khin dan Syaikh Musthafa al-Bugho.

3 dari 4 halaman

2. Nikah Tahlil

Nikah tahlil adalah seorang laki-laki menikahi perempuan kemudian menceraikannya (talak tiga) dengan tujuan agar perempuan tersebut halal dinikahi oleh suami pertamanya yang telah menceraikannya.

Pernikahan tahlil atau pernikahan kedua bisa menjadi syarat agar bisa nikah kembali dengan suami pertama asalkan pernikahan ini dilakukan secara alami bukan rekayasa dengan niat dari awal agar bisa kembali ke suami yang pertama. Sayyid Salam mengatakan;

ومن هذا تحريم نكاح التحليل الذي لا رغبة للنفس فيه في إمساك المرأة واتخاذه زوجة بل وطر فيما يفضيه يمنزلة الزانى في الحقيقة وإن اختلفت الصورة

“dan termasuk diharamkan yaitu pernikahan tahlil yang dilakukan tanpa keinginan untuk mengambil seorang perempuan sebagai seorang istri, melainkan hal itu pada hakikatnya hanya mengarah pada perzinahan dalam bentuk berbeda.”

4 dari 4 halaman

3. Nikah Mutah atau Kontrak

Pernikahan mut’ah adalah akad nikah yang dilakukan seakan untuk waktu tertentu dengan mahar yang ditetapkan, baik untuk waktu yang panjang maupun waktu yang pendek. Akad ini berakhir dengann berakhirnya waktu akad tanpa jatuh talak. Pernikahan seperti ini bertentangan dengan hukum al-Qur’an. Sayyid Salam berkata;

ومن ذلك تحريم نكاح المتعة الذي يعقد فيه المتمتع على المرأة مدة يقضي وطره منها فيها

“Salah satunya adalah larangan nikah mut’ah, menikahi perempuan untuk jangka waktu tertentu dan mengambil bagian di dalamnya.”

Jadi, tiga macam pernikahan tersebut dilarang dalam Islam meskipun dengan alasan untuk mencegah diri dari zina. Pernikahan tidak diperbolehkan kecuali pernikahan yang diniatkan untuk selamanya, dilakukan dengan izin dari wali dan kehadiran dua saksi atau yang mewakili untuk mengumumkan pernikahan.

Jika kita renungkan tiga hal ini dilarang dalam syariat Islam sebagai bentuk pencegahan atas kesewenang-wenangan kepada kaum perempuan, yang mana dalam kaidah ushul fiqih termasuk dalam asas Sadd Dzari’ah, yang artinya mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan). Wallahu’alam.