Sukses

Gus Baha Ungkap Cuma Ini yang Menyelamatkannya sebagai Ulama

Gus Baha ungkap satu-satunya hal yang mampu menyelamatkan dirinya sebagai seorang ulama.

Liputan6.com, Cilacap - Ulama merupakan jamak dari ‘alim yang artinya mengetahui ilmu agama dan sudah barang tentu mengamalkannya. Dengan demikian, ulama ialah orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam terkait ilmu agama dan sifat-sifatnya tidak berseberangan dengan ilmu yang dimiliki.

Namun yang memprihatinkan dalam kaitannya dengan gelar mulia ini, terkadang ada orang dengan ilmu agama yang luas, namun karakteristik pribadinya menunjukan hal sebaliknya. Mereka ini yang disebut sebagai ulama su’.

Dengan demikian, maka ulama su’ merupakan ulama yang justru dengan pengetahuan agamanya ini dirinya akan celaka sebab karakteristik buruk yang dimilikinya.

Berkaitan dengan hal ini KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam sebuah kesempatan ceramahnya mengungkapkan satu-satunya hal yang mampu menyelamatkannya dirinya hingga kini saat menyandang predikat sebagai ulama.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Sifat Ini yang Menyelamatkan Gus Baha Hingga Kini

Gus Baha mengawali pembicaraannya dengan membeberkan pengalamannya sebagai seorang ulama yang tugas pokoknya ialah mengajar ngaji kepada santri dan masyarakat luas.

Beliau mengaku bahwa menurutnya saat tugas utama mengajar sudah dilakukan, maka dirinya merasa beban pikirannya telah ringan. 

Beliau juga mengatakan tidak merisaukan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya seperti sikap like and dislike (suka atau tidak suka) berkaitan dengan dirinya itu.

“Saya jadi ulama begitu, pokoknya mengajar sudah, mau orang suka atau tidak sama saya tidak saya pikir,” tuturnya dikutip dari tayangan YouTube Short @pengaosangusbaha, Minggu (20/10/2024).

“Agama itu mudah yang bikin repot itu kan nafsu kalian,” sambungnya.

Terpenting bagi Gus Baha ialah menjadi ulama yang selamat dunia akirat. Berkaitan dengan ini Gus Baha mengungkapkan, sesuatu yang menyelamatkan dirinya hingga saat ini berkaitan dengan predikat mulia sebagai seorang ulama ialah sifat ikhlas.

“Beneran, yang menyelamatkan saya hingga saat ini itu cuma satu, yaitu ikhlas,” tuturnya.

3 dari 4 halaman

Tingkatan-tingkatan Ikhlas (1-2)

Menukil NU Online, Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58).

Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya.

Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun. Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu.

Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya. Adapun tingkatan ikhlas yang kedua Syekh Nawawi menuturkan lebih lanjut:

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”

Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya.

Beribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama.

Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak. Lebih lanjut Syekh Nawawi menuturkan:

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”

 

4 dari 4 halaman

Tingkatan Ikhlas yang Ketiga

Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu.

Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dluha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya.

Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah.

Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul