Liputan6.com, Jakarta - Di kalangan pesantren, sering kita temui adanya hukuman ketika santri melakukan kesalahan, yang umumnya dikenal dengan istilah "dirotan." Ini merupajkan bentuk ta'zir atau hukuman untuk santri yang melakukan kesalahan tertentu.
Hukuman ini dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan untuk mendisiplinkan santri dan mengajarkan mereka tentang konsekuensi dari tindakan yang tidak sesuai.
Meskipun terlihat keras, dirotan tidak dimaksudkan untuk menyakiti, melainkan lebih kepada pembelajaran agar santri menyadari kesalahan mereka dan berusaha untuk memperbaikinya.
Advertisement
Dalam banyak kasus, para pengasuh pesantren berusaha menjelaskan kepada santri bahwa hukuman ini merupakan bentuk kasih sayang dan perhatian, agar mereka bisa tumbuh menjadi individu yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
KH Yahya Zainul Ma'arif, atau yang lebih akrab disapa Buya Yahya, membagikan kisah pengalaman pribadinya selama menjadi santri di pondok pesantren.
Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube @SantriMWI, Buya Yahya mengungkapkan bahwa dirinya pernah dirotan saat menjalani pendidikan pesantren karena melakukan pelanggaran.
Pengalaman ini bukan sesuatu yang ia sembunyikan, melainkan menjadi bagian dari pembelajaran hidupnya sebagai santri.
Buya Yahya menceritakan bahwa mondok di pesantren dalam jangka waktu yang lama, bertahun-tahun, membuatnya juga mengalami beberapa kesalahan. Akibatnya, ia pernah dihukum dengan rotan.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Reaksi Ibunda Buya Yahya
"Saya dirotan di lengan sampai biru-biru. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tetapi bekasnya cukup lama untuk hilang," ujar Buya Yahya sambil mengenang pengalamannya.
Hukuman yang diterima Buya Yahya bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Ia menjelaskan bahwa meskipun tidak merasakan sakit yang luar biasa, bekas rotan tersebut sulit untuk hilang, dan bahkan sempat membuatnya menutupi lengan dengan pakaian panjang saat pulang ke rumah.
"Saat liburan pulang ke rumah, bekas rotan itu masih terlihat, dan saya terus berusaha menutupinya dengan baju agar tidak diketahui oleh umi saya," lanjutnya.
Namun, usaha Buya Yahya untuk menyembunyikan bekas rotan tersebut akhirnya tidak berhasil. Ibundanya, yang dikenal sebagai sosok yang bijak dan penuh kasih sayang, melihat bekas rotan tersebut dan bereaksi dengan cara yang tidak terduga.
Alih-alih marah kepada pihak yang merotannya, ibunda Buya Yahya justru memberikan tanggapan yang penuh hikmah.
"Hah, kenapa kamu dirotan? Bagus, itu setanmu yang dipukul, bukan kamu," kata ibunda Buya Yahya saat melihat bekas rotan di lengan anaknya.
Bukannya marah kepada guru atau ustadz yang memberikan hukuman, ibunda Buya Yahya justru menasihati anaknya dengan nada lembut dan penuh pengertian. Menurutnya, hukuman tersebut adalah bagian dari proses pembelajaran dan perbaikan diri.
Â
Advertisement
Pelajaran Dari Kisah Dirotannya Buya Yahya
Ibunda Buya Yahya bahkan menambahkan bahwa setelah menerima hukuman tersebut, diharapkan anaknya bisa menjadi santri yang lebih soleh dan pintar.
"Setelah ini kamu harus lebih baik, jadi santri yang soleh dan pintar," ujar ibunda Buya Yahya dengan penuh harapan. Sikap bijak ibundanya ini memberikan pelajaran berharga bagi Buya Yahya dan menjadi teladan bagi para santri lainnya.
Dalam ceramah tersebut, Buya Yahya mengungkapkan bahwa sikap yang ditunjukkan ibundanya saat melihat bekas rotan itu adalah bentuk kasih sayang seorang ibu yang memahami bahwa disiplin di pesantren bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan diterima sebagai bagian dari proses mendidik.
Menurut Buya Yahya, ibundanya sangat memahami bahwa hukuman fisik yang diberikan di pesantren bukanlah semata-mata untuk menyakiti, melainkan untuk memperbaiki akhlak dan perilaku santri.
"Kalau santri melanggar, pasti ada alasannya kenapa dirotan. Itu bukan untuk menyakiti, tapi untuk mendidik. Dan saya berharap semua orang tua bisa bersikap seperti ibunda saya, menerima bahwa hukuman itu adalah untuk kebaikan anaknya," tutur Buya Yahya.
Buya Yahya juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendukung pendidikan anak di pesantren. Ia mengingatkan agar orang tua tidak langsung marah atau menyalahkan pihak pesantren jika anak mereka mendapatkan hukuman.
Sebaliknya, orang tua harus bersikap bijak dan mendukung proses pendidikan yang sedang dijalani oleh anak mereka.
Menurut Buya Yahya, hukuman fisik yang diterima santri di pesantren, selama tidak berlebihan, adalah bagian dari metode pendidikan yang sudah diterapkan sejak lama. Ia sendiri merasakan manfaat dari proses tersebut, karena mampu membuatnya lebih disiplin dan taat terhadap aturan.
"Setiap pelanggaran pasti ada akibatnya, dan itu adalah bagian dari pendidikan karakter di pesantren," tambahnya.
Pengalaman Buya Yahya ini menjadi inspirasi bagi para santri yang mungkin pernah merasakan hal serupa. Ia menekankan bahwa setiap hukuman yang diterima harus dilihat sebagai bagian dari proses mendewasakan diri, bukan sebagai bentuk kekerasan atau ketidakadilan.
Buya Yahya juga mengajak para santri untuk tidak takut terhadap hukuman, selama itu dilakukan dengan tujuan yang baik dan demi kebaikan mereka.
Sebagai penutup, Buya Yahya menyampaikan pesan kepada para santri agar selalu patuh terhadap aturan yang ada di pesantren dan menjadikan setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, sebagai pelajaran hidup yang berharga.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Â