Liputan6.com, Jakarta - Maraknya pendirian pondok pesantren unggulan di Indonesia sering kali disertai dengan biaya yang tinggi dan syarat yang ketat, seperti keharusan bagi calon santri untuk sudah hafal Al-Qur'an.
Meskipun tujuan dari pondok unggulan adalah untuk mencetak generasi yang berkualitas dan berkompeten dalam ilmu agama, banyak pihak mengkhawatirkan aksesibilitasnya bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi kurang mampu.
Syarat yang mengharuskan calon santri untuk hafal Al-Qur'an hingga tingkat tertentu dapat menciptakan diskriminasi, di mana hanya anak-anak dari keluarga mampu yang memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan di lembaga tersebut.
Advertisement
KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang dikenal sebagai Gus Baha, baru-baru ini mengemukakan kritik terhadap pendirian pondok pesantren unggulan yang menetapkan syarat ketat bagi calon santrinya.
Dalam sebuah ceramah di hadapan ribuan orang di Jawa Timur, Gus Baha secara terbuka menyampaikan pendapatnya tentang pondok-pondok yang hanya menerima santri dengan kriteria tertentu, terutama yang sudah hafal Al-Qur'an.
Dalam ceramah tersebut, Gus Baha mengatakan bahwa dirinya memahami niat baik di balik pendirian pondok unggulan, tetapi ia merasa perlu memberikan pandangan berbeda.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Anak Kurang Mampu Secara Finansial Sulit Masuk Pondok
"Saya bilang, meskipun punya pondok unggulan, saya mohon izin nanti saya akan kritik pondok unggulan ini. Mohon diterima," ujarnya, mengungkapkan permintaan izinnya sebelum menyampaikan kritik.
Ceramah yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @arrumidesain88 ini kemudian diikuti dengan pandangan kritis Gus Baha terhadap konsep pondok unggulan.
Ia menilai bahwa adanya seleksi ketat seperti hafalan Al-Qur'an dan biaya yang tinggi justru dapat menjadi hambatan bagi masyarakat umum untuk mengakses pendidikan di pesantren.
Menurut Gus Baha, syarat yang terlalu tinggi ini dapat menutup peluang bagi anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.
"Misalnya, saya bikin pondok unggulan, siswa yang saya terima sudah hafal Qur’an 10 juz dan biaya masuknya Rp10 juta. Lalu, anak-anak dari keluarga miskin mau mondok di mana kalau aturan seperti itu?" ujarnya.
Ia menyoroti bahwa pendidikan agama seharusnya inklusif dan tidak memandang status sosial atau kemampuan akademis tertentu.
Gus Baha menilai bahwa ketatnya syarat ini bertentangan dengan prinsip utama pesantren, yaitu membuka kesempatan belajar agama untuk semua kalangan. "Lalu, yang tidak punya hafalan mau ngaji di mana? Yang goblok-goblok mau ngaji bagaimana kalau harus hafal 10 juz?" katanya.
Gus Baha menyebut bahwa sistem ini mirip dengan fenomena di dunia kerja, di mana perusahaan sering kali lebih memilih karyawan berpengalaman.
"Pabrik-pabrik itu aneh, menerima yang sudah pengalaman kerja. Kalau sudah pengalaman, ya nggak usah melamar. Sudah punya pekerjaan di tempat lain," sindirnya.
Advertisement
Pendidikan Agama Sulit Diakses
Pandangan ini bukan tanpa alasan. Menurut Gus Baha, pesantren unggulan yang menetapkan syarat hafalan dapat membuat pendidikan agama hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Ia mengkhawatirkan adanya ketimpangan dalam kesempatan belajar agama yang justru bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam Islam.
Gus Baha menekankan bahwa pesantren sejak dahulu didirikan untuk semua kalangan tanpa melihat latar belakang atau kemampuan santri.
"Seharusnya, pesantren itu menerima siapa saja yang ingin belajar agama. Kalau aturannya jadi seperti itu, ya yang miskin dan belum bisa menghafal Qur'an tidak punya kesempatan," jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa konsep pondok unggulan yang hanya menerima santri berprestasi bisa merusak makna pendidikan agama yang sejatinya terbuka bagi semua orang.
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan nilai-nilai tradisional pondok pesantren yang menerima santri dari berbagai latar belakang.
Lebih lanjut, Gus Baha mengajak para pendiri pondok unggulan untuk mempertimbangkan kembali aturan ketat ini agar lebih inklusif. Ia berharap agar pondok-pondok pesantren bisa tetap membuka pintu bagi mereka yang ingin belajar agama, baik yang sudah memiliki hafalan maupun yang belum.
Gus Baha juga mengingatkan bahwa pendidikan agama di pesantren memiliki peran penting dalam menjaga moral masyarakat, dan hal ini harus terbuka untuk semua kalangan.
"Kalau aturan seperti itu diterapkan, maka masyarakat umum tidak akan punya akses untuk belajar agama," ujarnya.
Ia menyatakan bahwa akses untuk belajar agama seharusnya tidak menjadi hal eksklusif yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu.
Menurutnya, semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan agama dan belajar Al-Qur'an tanpa ada hambatan finansial atau syarat hafalan.
Dalam ceramahnya, Gus Baha berharap agar pesantren dapat kembali kepada prinsip utamanya sebagai lembaga pendidikan yang inklusif dan membuka akses untuk semua orang.
Ia menegaskan bahwa pendidikan agama adalah hak semua umat Islam, bukan hanya yang mampu secara finansial atau akademis.
Pandangan Gus Baha ini disambut positif oleh banyak orang yang hadir dalam ceramah tersebut. Mereka berharap agar pesantren di Indonesia dapat lebih terbuka dalam menerima santri dari berbagai latar belakang dan kemampuan.
Kritik Gus Baha ini memberikan perspektif baru bagi masyarakat mengenai pentingnya inklusivitas dalam pendidikan agama.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul