Sukses

Bagaimana Hukumnya Pasang Gigi Palsu dalam Islam, Boleh atau Tidak?

Penggunaan gigi palsu biasanya disebabkan kebutuhan dari seseorang yang memiliki kondisi gigi yang tidak utuh atau rusak. Lantas, bagaimanakah hukumnya dalam Islam? Berikut penjelasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Kesehatan adalah nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Nikmat sehat harus selalu dijaga, karena dengan tubuh yang sehat seseorang dapat menjalankan aktivitas dengan optimal termasuk melaksanakan ibadah.

Salah satu anggota tubuh yang cukup menjadi perhatian bagi banyak orang yaitu kesehatan mulut dan gigi. Terlebih, jika kondisinya tidak sehat misal gigi copot atau berlubang.

Solusi dari permasalahan tersebut salah satunya yaitu menggunakan implan gigi atau gigi palsu. Tindakan ini merupakan pemasangan benda asing yang berbentuk gigi secara permanen atau pun tidak.

Lalu, jika memang dalam kondisi gigi yang rusak kemudian menggunakan gigi palsu, bagaimanakah hukumnya dalam Islam? Berikut penjelasannya dirangkum dari laman mui.or.id.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 4 halaman

Hadis Tentang Memasang Gigi Palsu

Pemasangan gigi palsu merupakan suatu hajat atau kebutuhan bagi seseorang yang tidak lagi memiliki gigi untuk bisa mengunyah makanan serta membantu pencernaan makanan.

Gigi tidak hanya digunakan dalam membantu mengunyah, tetapi juga berguna dalam berbicara maupun dalam beribadah seperti membaca Al-Qur’an. Seseorang yang tidak ada gigi akan sulit dalam membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidahnya.

Terkait penggunaan gigi palsu, terdapat beberapa hadis yang menjadi acuan, di antaranya:

Hadis dari Urfujah bin As’ad RA:

“Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian, beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk menggunakan tambal hidung dari emas.” (HR. An-Nasa'i 5161, Abu Daud 4232 dan dinilai hasan olehAl-Albani)

Hadis dari Ibn Abbas RA, beliau berkata:

“Dilaknat orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani)

Dalam riwayat lain, Ibn Mas’ud RA berkata:

“Rasulullah SAW melarang orang mencukur alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit.” (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syu'aib Al-Arnaut)

3 dari 4 halaman

Hukum Memasang Gigi Palsu

Berdasarkan beberapa keterangan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa hal yang dilakukan seseorang untuk mengubah dirinya hukumnya diperbolehkan dengan tujuan pengobatan atau mengembalikan pada kondisi tubuh yang normal.

Keputusan memperbolehkan ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW yang memperbolehkan mengganti tulang hidung yang patang dengan emas karena hal darurat. Kondisi tersebut, sama halnya dengan pemasangan implan gigi atau gigi palsu untuk pengobatan.

Merujuk pada Fatawa Lajnah Daimah, 25/15 menyatakan bahwa,

“Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan risiko sakit, atau melepaskannya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena, semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan mudharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.”

4 dari 4 halaman

Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

Benda asing atau pada konteks ini adalah gigi palsu pada tubuh seseorang yang telah meninggal menurut para ulama tidak wajib diambil atau dilepaskan. Tidak wajib dalam hal ini berlaku apabila barang tersebut tidak memberikan dampak apapun bagi si mayit.

Keberadaan benda asing, tidaklah menyebabkan si mayit menjadi tertahan amalnya atau dia tidak tenang atau keyakinan semacamnya. All-Mardawi al-Hambali mengatakan,

“Dalam kitab al-Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian dia mati, maak tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena melepasnya menyebabkan menyayat mayat.” (al-Inshaf, 2/555)

Pada prinsipnya, melepas benda yang ada di jasad mayit tidak diperbolehkan, kecuali dalam 2 pertimbangan:

1. Ada maslahat besar untuk mengambil benda tersebut. Misalnya nilai benda yang mahal atau karena benda yang ada di tubuh mayit tergolong najis.

2. Tidak membahayakan bagi mayit. Misalnya tidak menyebabkan harus menyayat mayit.

Jika benda itu tidak bernilai, tidak masalah dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan emas atau perak, atau hidung palsu yang bukan emas.

Namun jika benda itu bernilai, maka boleh diambil, kecuali jika dikhawatirkan akan merusak badan mayit, misalnya ketika gigi itu diambil akan merusak rahang, maka gigi itu dibiarkan untuk dikubur bersama mayit.