Sukses

Sosok Kiai Kharismatik, tapi Ayah Gus Baha Suka Makan di Warung, Alasannya Mendalam

Salah satu kebiasaan unik ayah Gus Baha adalah kegemarannya makan di warung, meskipun sudah sarapan di rumah. Ternyata ada alasan mendalam dari kisah kebiasaan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Makan di warung bagi sebagian orang mungkin hanya sekadar kegiatan biasa, namun bagi KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), kisah di balik kebiasaan ayahnya ini menyimpan makna yang dalam.

Dalam tayangan video di kanal YouTube @Sentrasantri, Gus Baha menceritakan kenangan dengan ayahnya yang terkenal sebagai sosok Kiai kharismatik di Rembang, sekaligus seorang penghafal Al-Qur’an yang sangat dihormati.

Salah satu kebiasaan unik ayah Gus Baha adalah kegemarannya makan di warung, meskipun sudah sarapan di rumah.

Gus Baha bercerita bahwa meskipun ayahnya Almaghfurlah KH Nursalim sudah menyantap makanan di rumah, setiap kali keluar rumah, beliau selalu mampir ke warung. “Mbok sarapan teng Omah nak teng dalan tetep Marung, kulo takon bapak, Pak jenengan kok seneng Marung alasane nopo?” ungkap Gus Baha dalam video tersebut.

Kebiasaan makan di warung ini sempat menjadi misteri di kalangan masyarakat Rembang, terutama di antara para pengikutnya. Ayah Gus Baha dikenal sebagai seorang Kiai yang sangat dihormati, namun kebiasaannya makan di warung tetap menjadi pertanyaan bagi banyak orang. Tidak sedikit orang yang heran dan penasaran dengan kebiasaan tersebut.

Suatu hari, Gus Baha akhirnya memutuskan untuk bertanya langsung kepada ayahnya mengenai alasan di balik kebiasaannya tersebut. Saat bercerita, Gus Baha melihat mata ayahnya mulai berkaca-kaca. Dalam penuturan yang penuh emosi, ayah Gus Baha mengungkapkan alasan di balik kebiasaannya makan di warung yang mendalam.

“Beliau cerita sambil berkaca-kaca nak ono rondo ayu gawe warung dan dia tidak berzina tidak menjual diri itu artinya dia melakukan perlawanan terhadap yang namanya zina,” ungkap Gus Baha, menyampaikan cerita ayahnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ibadah Bukan Hanya yang Sholat Tahajud Saja

Ayah Gus Baha menjelaskan bahwa kebiasaan makan di warung bukan hanya soal mencari makan, tetapi lebih kepada bentuk penghargaan terhadap mereka yang berusaha hidup dengan cara yang halal.

Wong nganti buka warung artine emoh nyolong emoh menjual diri sebagai pezina emoh korupsi, dia inginnya berdagang secara normal itu artine mencari rezeki dengan halal,” kata ayah Gus Baha.

Pesan yang ingin disampaikan melalui kebiasaan ini adalah tentang pentingnya mendukung mereka yang berjuang untuk mencari rezeki dengan cara yang baik dan sah. Warung bukan hanya tempat untuk makan, tetapi simbol dari perjuangan mereka yang berusaha menjalankan kehidupan dengan cara yang halal.

Bagi ayah Gus Baha, menolong agama bukan hanya soal ibadah ritual seperti sholat atau tahajud. “Ha Baha, dadi sing ibadah ora sing tahajud tok, wong sing neng warung, nunggoni warunge nunggoni dagangane ya ibadah karena iku artine melawan maling melawan sistem-sistem cara-cara sing kotor,” jelas Gus Baha, merujuk pada pandangan ayahnya.

Dengan kata lain, bagi ayah Gus Baha, mendukung para pedagang yang mencari nafkah dengan cara yang benar adalah bentuk perlawanan terhadap kemungkaran dan ketidakadilan. Makan di warung bagi ayahnya bukan sekadar makan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap mereka yang berusaha hidup dengan cara yang benar.

Selain itu, kebiasaan ini mengandung pelajaran tentang pentingnya menghargai usaha dan kerja keras orang lain. Di balik kesederhanaan makan di warung, terdapat nilai-nilai luhur tentang kejujuran dan kesalehan yang seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam.

3 dari 3 halaman

Makna Mendalam Kisah Tersebut

Makan di warung juga menjadi simbol dari kesederhanaan dan kerendahan hati. Meskipun sudah memiliki status dan pengaruh sebagai seorang Kiai yang dihormati, ayah Gus Baha tetap merasa penting untuk merasakan kehidupan masyarakat biasa dan mendukung mereka yang berjuang dengan cara yang jujur.

Kebiasaan ini juga mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi dan tidak mudah menghakimi orang lain hanya karena perbedaan sosial atau ekonomi. Makan di warung bukan berarti merendahkan diri, tetapi lebih kepada memahami dan menghargai perjuangan orang lain dalam mencari rezeki.

Gus Baha menambahkan bahwa ayahnya juga melihat makan di warung sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya korupsi dan kecurangan yang sering terjadi di masyarakat. Bagi ayahnya, memilih untuk makan di warung yang dikelola dengan jujur dan halal adalah bagian dari melawan sistem yang tidak adil.

“Apa sing dadi alasan, wong sing ora milih urip ne mung ngandelake sing korup, malah iku sing malah mujudake kekeliruan,” ujar Gus Baha, merujuk pada prinsip ayahnya dalam mencari nafkah dengan cara yang benar.

Kisah ini juga memberikan pesan penting bagi generasi muda, bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita harus selalu berusaha untuk hidup dengan jujur dan tidak terjerumus ke dalam tindakan yang merugikan orang lain. Makan di warung bukan hanya tentang menikmati makanan, tetapi juga tentang mendukung usaha orang yang berjuang dengan cara yang benar.

Sebagai seorang Kiai yang dihormati, ayah Gus Baha mengajarkan bahwa untuk mendukung agama, kita tidak hanya harus fokus pada ibadah pribadi, tetapi juga pada bagaimana kita membantu sesama, termasuk mendukung mereka yang berusaha mencari nafkah dengan cara yang halal.

Melalui cerita ini, Gus Baha menunjukkan kepada umat Islam pentingnya menjalani hidup dengan penuh pengertian dan menghargai usaha orang lain. Kebiasaan sederhana seperti makan di warung bisa mengandung pesan yang dalam jika kita mampu menelaahnya dengan hati yang terbuka.

Akhirnya, kebiasaan ayah Gus Baha makan di warung mengajarkan kita tentang nilai-nilai yang lebih dalam daripada sekadar rutinitas sehari-hari. Itu adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dan dukungan terhadap mereka yang berusaha mencari rezeki dengan cara yang benar dan halal.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul