Liputan6.com, Jakarta - Setiap orang tua memiliki cara unik dalam mendidik anak-anaknya. Namun, pendekatan yang diterapkan oleh ayah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha ini mungkin tidak terbayangkan sebelumnya.
Dengan alasan yang menginspirasi, ayah Gus Baha, KH Nursalim selalu memberikan uang tambahan setiap bulan untuk traktir teman-temannya.
Cerita ini diungkapkan langsung oleh Gus Baha dalam sebuah video di kanal YouTube @Pengaosangusbaha. Dalam video tersebut, ia berbagi pengalaman masa mudanya saat belajar di pondok pesantren.
Advertisement
"Dulu, bapak saya kirim uang pakai wesel. Kalau ngasih uang, misalnya Rp500.000 untuk kebutuhan saya, pasti ditambah Rp100.000 khusus untuk jajan bareng teman-teman," kata Gus Baha dalam ceritanya.
Sebagai seorang santri, Gus Baha awalnya merasa heran dengan kebiasaan ayahnya itu. Ia pun pernah bertanya, apa alasan di balik penghormatan ayahnya terhadap teman-temannya.
Ayah Gus Baha menjawab dengan kalimat yang sederhana tetapi penuh makna. "Kowe mondok aku ra iso nyukupi kebutuhanmu, sing iso nyukupi konco-koncomu," ujar sang ayah.
Artinya, "Kamu mondok, saya tidak bisa mencukupi kebutuhanmu. Yang bisa mencukupi adalah teman-temanmu."
Jawaban ini membuat Gus Baha merenung. Ia mulai memahami bahwa keberadaan teman-teman di pondok pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupannya. Teman-teman inilah yang membantu saling melengkapi kebutuhan satu sama lain.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Barokahnya Banyak Teman
Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan fenomena yang sering terjadi di kalangan santri atau mahasiswa. "Biasanya, uang pribadi itu habis dalam delapan hari setelah dikirim. Tapi, masih ada 22 hari lagi. Kok bisa bertahan? Ya itu, barokahnya teman-teman," ujarnya sambil tersenyum.
Bahkan, ia bercanda bahwa ada santri yang lebih "nekat." "Yang agak mbeling itu, uangnya habis sehari. Berarti 29 hari sisanya bergantung sana-sini. Tapi, tetap bisa hidup," katanya, mengundang tawa jamaah.
Gus Baha juga mengaitkan pengalaman ini dengan sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa manusia dibiarkan untuk saling membantu dan memberikan rezeki satu sama lain. "Nabi dulu ngendikan, manusia itu dibiarkan aja, nanti saling memberi rezeki. Itu kenyataan yang terjadi," tambahnya.
Cerita ini memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya hubungan sosial, khususnya dalam lingkungan pesantren. Ayah Gus Baha tampaknya ingin mengajarkan bahwa keberadaan teman-teman adalah bagian dari rezeki yang tak ternilai.
Bagi para santri, pelajaran ini menjadi relevan karena hidup di pondok pesantren menuntut solidaritas dan kebersamaan. Banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri, tetapi bisa dicukupi melalui kebersamaan dengan teman-teman.
Selain itu, kisah ini juga mencerminkan nilai kedermawanan yang diajarkan oleh keluarga Gus Baha. Dengan memberikan uang lebih untuk teman-teman, sang ayah ingin menanamkan sikap peduli terhadap orang lain sejak dini.
Advertisement
Sekilas soal Dermawan
Kedermawanan ini tidak hanya sebatas materi. Sikap menghormati dan menjaga hubungan baik dengan orang lain juga menjadi bagian penting dari pendidikan yang diberikan ayahnya.
Gus Baha menekankan bahwa nilai-nilai ini menjadi bekal penting dalam menjalani kehidupan. Ia sendiri mengaku belajar banyak dari cara ayahnya menghargai teman-temannya.
Pelajaran ini pun relevan bagi siapa saja, tidak hanya untuk santri, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika seseorang hidup berdampingan dengan orang lain, sikap saling membantu dan peduli adalah kunci untuk menghadapi berbagai tantangan.
Kisah ini bukan hanya menginspirasi, tetapi juga menjadi pengingat bagi banyak orang tentang pentingnya menjalin hubungan baik dengan sesama. Bagi Gus Baha, teman-teman di pondok pesantren bukan hanya pelengkap, tetapi bagian tak terpisahkan dari keberhasilan hidup.
Dengan cara unik dan penuh kasih, ayah Gus Baha telah memberikan pelajaran hidup yang mendalam. Nilai ini terus diwariskan oleh Gus Baha kepada para santrinya, menjadi inspirasi tentang bagaimana menghargai hubungan sosial dalam setiap aspek kehidupan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul