Liputan6.com, Cilacap - Mahar atau mas kawin ialah harta yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat pernikahan.
Islam tidak membatasi jumlah mahar atau mas kawin. Sehingga dalam kaitannya dengan mahar, agama Islam sama sekali tidak memberatkan pihak laki-laki.
Di zaman Rasulullah SAW, seorang sahabat sebab sangat miskin dan tidak memiliki harta yang bisa diberikan sebagai mas kawin, maka Rasulullah SAW menyarankan agar memberikan mahar dengan hafalan Al-Qur’an.
Advertisement
Baca Juga
Perihal mahar muncul permasalahan jika ternyata berasal dari harta haram. Pertanyaannya ialah bagaimana hukum memberikan mahar dari harta haram dan bagaimana konsekuensi pernikahannya, sah atau tidak?
Simak Video Pilihan Ini:
Hukumnya
Mengutip NU Online, dalam mazhab Syafi'i dijelaskan bahwa batasan sesuatu dapat dijadikan sebagai mahar adalah barang atau manfaat yang sah dijadikan pembayaran dalam jual beli.
بل الضابط في ذلك أن كل شيء صح جعله ثمنا من عين أو منفعة صح جعله صداقا
Artinya, "Tetapi ukurannya di sini adalah semua yang sah dijadikan pembayaran (tsaman) dari bentuk barang atau manfaat, maka sah juga dijadikan mahar." (Muhammad bin Qasim bin Muhammad, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 235).
Penjelasan ini memang tidak secara tegas menjelaskan bahwa harta haram tidak diperbolehkan digunakan menjadi mahar. Namun, sebenarnya telah maklum bahwa tsaman dalam jual beli harus bukan barang haram.
Lebih jelas, Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan bahwa mahar yang tidak dimiliki mempelai laki-laki semisal hasil ghasab maka mahar tersebut batal dan mewajibkan mahar mitsil.
لَوْ «نَكَحَهَا بِمَا لَا يَمْلِكُهُ» كَخَمْرٍ وَحُرٍّ وَدَمٍ وَمَغْصُوبٍ «وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ» لِفَسَادِ الصَّدَاقِ بِانْتِفَاءِ كَوْنِهِ مَالًا أَوْ مَمْلُوكًا لِلزَّوْجِ سَوَاءٌ أَكَانَ جَاهِلًا بِذَلِكَ أَمْ عَالِمًا بِهِ
Artinya, "Jika seseorang menikahi wanita dengan mahar yang bukan miliknya, seperti khamr, manusia yang merdeka, darah, atau barang ghasab, maka wajib baginya memberikan mahar mitsil karena mahar tersebut rusak sebab mahar yang diserahkan bukanlah sesuatu yang bernilai atau dimiliki oleh suami, baik ia mengetahui hal itu ataupun tidak." (Fathul Wahab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t], juz II, halaman 95).
Advertisement
Apakah Pernikahannya Tetap Sah?
Namun terkait hukum pernikahannya tetaplah sah, tidak terpengaruh dengan batalnya mahar sebab berasal dari harta haram. Berikut ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami:
نَكَحَهَا) بِمَا لَا يَمْلِكُهُ كَأَنْ نَكَحَهَا (بِخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ أَوْ مَغْصُوبٍ) صَرَّحَ بِوَصْفِهِ بِمَا ذُكِرَ أَوْ أَشَارَ إلَيْهِ فَقَطْ وَقَدْ عَلِمَهُ أَوْ جَهِلَهُ (وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ) لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ وَبَقَاءِ النِّكَاحِ
Artinya, "Jika seorang pria menikahi wanita dengan sesuatu yang tidak ia miliki, seperti menikahinya dengan mahar khamr, orang merdeka, atau barang hasil ghasab, baik dia menyebutkan secara jelas atau hanya menunjuk kepada barang tersebut, baik pria itu tahu atau tidak mengetahuinya, maka wajib membayar mahar mitsil, karena penyebutan mahar tersebut batal, namun akad nikahnya tetap sah." (Tuhfatul Muhtaj dalam Hawasyis Syirwani, [Beirut: Dar Ihya' At-Turots], juz VII halaman 384).
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa di antara syarat mahar pernikahan adalah berasal dari harta halal yang dimiliki mempelai laki-laki. Adapun jika maharnya berasal dari harta haram maka batal mahar musammanya (kadar mahar standar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan disebutkan dalam akad nikah).
Sebagai gantinya adalah kewajiban memberikan mahar mitsil (kadar mahar yang disenangi oleh semisal mempelai wanita menurut kebiasaan setempat) yang berasal dari harta halal. Intinya mahar dalam pernikahan harus diberikan.
Soal penyebutan mahar dalam akad nikah hukumnya sunah sehingga batalnya mahar musamma tidak dapat membatalkan pernikahan yang sah. Mahar juga bukan merupakan rukun nikah, melainkan kewajiban yang timbul dari akad pernikahan.
Terakhir, calon mempelai laki-laki harus betul-betul berhati-hati dan memperhatikan asal-muasal harta yang digunakan sebagai mahar, karena harapan terbesar dari sebuah pernikahan adalah terciptanya keluarga yang penuh kebahagiaan, keberkahan dan diridhai Allah Swt. Hal ini dapat diawali dengan sesuatu yang baik dan sesuai tuntunan syari’at, yakni mahar yang berasal dari harta halal.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul