Liputan6.com, Jakarta - Di dunia pesantren, kisah-kisah tentang kewalian sering kali tidak hanya menjadi cerita spiritual, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan yang dalam. Salah satu kisah menarik terkait dengan Mbah Hamid Pasuruan, seorang ulama yang dikenal karena keilmuan dan kewaliannya.
Kisah ini bermula ketika putranya, Gus Nukman, dipukuli oleh pengasuh pesantren tempat ia menuntut ilmu.
Pada masa itu, Mbah Hamid memondokkan Gus Nukman di Pondok Pesantren Darul Hadis Malang yang diasuh oleh Habib Abdullah bil Faqih. Pondok ini terkenal dengan disiplin yang ketat dan pengasuhan yang keras, yang dimaksudkan untuk mendidik santri menjadi pribadi yang baik.
Advertisement
Namun, siapa sangka, meskipun Gus Nukman datang dari keluarga terhormat, pengasuh pesantren tersebut tidak mengetahui latar belakang Gus Nukman.
Gus Nukman, yang dikenal dengan sifat nakalnya, beberapa kali terlibat dalam tindakan yang melanggar aturan pesantren. Pada akhirnya, hal tersebut membuat Habib Abdullah bil Faqih harus turun tangan.
Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @karomahislam, Habib Abdullah memanggil Gus Nukman untuk diberikan nasihat, berharap agar santrinya itu bisa berubah menjadi lebih baik.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Dihukum Dipukul Pakai Batang Bambu Kuning Muda
Namun, meski sudah diberi nasihat, Gus Nukman tetap saja tidak menunjukkan perubahan. Tindakannya yang nakal membuat Habib Abdullah terpaksa memanggilnya untuk kedua kalinya. Kali ini, hukuman pun diberikan, berupa sabetan menggunakan bambu kuning yang masih muda.
Hukuman tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pembelajaran bagi Gus Nukman agar dia bisa mengubah perilakunya.
Namun, setelah hukuman itu diberikan, sebuah kejadian aneh terjadi. Beberapa hari setelah hukuman itu, Habib Abdullah bil Faqih mengalami mimpi yang sangat mengganggu.
Dalam mimpinya, ayah dari Habib Abdullah muncul dan berkata, "Nak, putra kamu itu bukan anak sembarangan. Itu adalah anak Mbah Hamid, yang merupakan wali abdal. Apa kamu tidak takut Kualat?"
Mimpi tersebut membuat Habib Abdullah terkejut dan ketakutan. Pesan yang diterimanya begitu jelas: Dia telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan terhadap putra seorang wali.
Beberapa hari setelah mimpi tersebut, Habib Abdullah kembali bermimpi, kali ini bertemu dengan Mbah Hamid. Dalam mimpi tersebut, Mbah Hamid sedang menuju pintu surga, namun Habib Abdullah tidak bisa menyentuh atau menggapainya.
Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Habib Abdullah memutuskan untuk menemui Mbah Hamid secara langsung. Ia datang dengan penuh rasa penyesalan dan meminta maaf atas kejadian yang telah terjadi. Habib Abdullah ingin mendapatkan kejelasan dan meminta maaf atas perbuatannya yang mungkin telah melukai perasaan seorang wali.
Mendengar cerita dari Habib Abdullah, Mbah Hamid terdiam sejenak. Mbah Hamid, yang sudah lama dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan penuh kebijaksanaan, akhirnya menangis. Mbah Hamid merasa malu, bukan karena permintaan maaf itu, tetapi karena rahasia kewaliannya yang seharusnya tetap tersembunyi, kini terbongkar.
Advertisement
Bukan Sekedar Hukuman, Ini Pelajaran yang Bisa Diambil
Kisah ini pun menjadi perbincangan di kalangan umat, terutama di kalangan para santri dan pengasuh pesantren. Bagi mereka, ini bukan hanya cerita tentang hukuman fisik yang diterima oleh Gus Nukman, tetapi lebih pada makna yang terkandung di balik kejadian tersebut. Sebuah pengingat bahwa setiap tindakan, sekecil apapun, bisa membawa dampak yang besar, terutama ketika berhubungan dengan orang yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi.
Bagi Habib Abdullah, pertemuannya dengan Mbah Hamid mengajarkan banyak hal tentang keikhlasan, kebijaksanaan, dan rasa hormat terhadap orang yang memiliki kedudukan di sisi Allah. Mbah Hamid tidak hanya mengajarkan kepada anak-anaknya ilmu agama, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kemuliaan yang harus dihormati oleh siapa saja yang berada di sekitarnya.
Sementara itu, bagi Gus Nukman, meskipun dia mungkin tidak sepenuhnya memahami kedalaman makna dari kejadian tersebut saat itu, pengalaman itu tentu memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga. Di balik sikap nakalnya, Gus Nukman mungkin belum sepenuhnya menyadari bahwa ia adalah bagian dari sebuah garis keturunan yang memiliki kedudukan yang sangat tinggi di mata Allah.
Kisah ini juga memberikan gambaran betapa dalamnya hubungan antara seorang ayah dan anak, terlebih ketika sang ayah adalah seorang wali. Tidak hanya sebagai pendidik, tetapi seorang wali juga memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga dan membimbing anak-anaknya dalam kehidupan spiritual. Mbah Hamid, dengan segala karomahnya, menunjukkan bahwa kebijaksanaan seorang wali tidak hanya datang dari pengetahuan agama, tetapi juga dari ketulusan dan keikhlasan hati.
Tak hanya bagi pengasuh pesantren dan santri, kisah ini juga menjadi pengingat bagi umat Islam untuk selalu menjaga sikap dan tindakan, terutama terhadap mereka yang memiliki kedudukan khusus di sisi Allah. Sebab, setiap tindakan, meskipun dilakukan tanpa niat buruk, bisa memiliki dampak yang tak terduga, terlebih jika menyangkut kehormatan dan kewalian seseorang.
Kisah Mbah Hamid dan Habib Abdullah ini juga mengajarkan tentang pentingnya introspeksi diri. Ketika menghadapi masalah atau kesalahan, sudah seharusnya kita merenung dan mencari jalan untuk memperbaiki diri, seperti yang dilakukan oleh Habib Abdullah yang akhirnya datang untuk meminta maaf kepada Mbah Hamid. Sebuah contoh nyata tentang bagaimana seseorang yang memiliki kedudukan tinggi pun, tetap harus rendah hati dan mengakui kesalahan.
Pada akhirnya, cerita ini menjadi pelajaran hidup yang berharga bagi siapa saja yang mendengarnya. Bukan hanya tentang hukuman atau nasihat yang diberikan kepada seorang anak, tetapi lebih kepada bagaimana sikap kita terhadap orang yang lebih tua, lebih mulia, atau memiliki kedudukan khusus di sisi Allah. Kisah Mbah Hamid Pasuruan ini, dengan segala kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, akan selalu dikenang oleh umat sebagai sebuah pelajaran spiritual yang mendalam.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu menjaga sikap, perbuatan, dan hati, agar dapat hidup dengan penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati, sebagaimana yang diajarkan oleh Mbah Hamid Pasuruan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Â