Sukses

UAH Ungkap 3 Golongan Ahli Al-Qur’an yang Tak Diridhai Allah, Siapa Saja?

Terkait dengan ahli Al-Qur’an, pendakwah Ustadz Adi Hidayat atau UAH mengungkapkan tiga golongan ahlul-Qur’an yang tak diridhai Allah SWT. Siapa saja mereka?

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam memiliki kitab yang menjadi petunjuk sekaligus pedoman hidup, yakni Al-Qur’an. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dalam bahasa Arab secara berangsur-angsur.

Sebagai kitab pedoman hidup, umat Islam sangat dianjurkan untuk membaca dan mengamalkan apa yang ada dalam Al-Qur’an. Bila perlu, mengembangkan sains dan teknologi yang rujukannya diambil dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan sebelumnya.

Orang yang menghafal dan membaca Al-Qur’an digolongkan sebagai ahli Al-Qur’an. Namun, menurut Syaikh Shalih Al-Fauzan, tidak hanya itu saja yang membuat seorang muslim dikatakan ahlul-Qur’an.

Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, ahlul-Qur’an sejati adalah yang mengamalkannya, meskipun ia belum hafal Qur’an. Yang dimaksud mengamalkan Al-Qur’an ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan serta tidak melanggar batasan-batasan yang digariskan Al-Qur’an.

“Mereka itulah yang dimaksud ahlul-Qur’an, keluarga Allah serta orang-orang pilihannya Allah. Merekalah hamba Allah yang paling istimewa,” katanya dinukil dari laman muslim.or.id, Senin (1/12/2024).

Terkait dengan ahli Al-Qur’an, pendakwah Ustadz Adi Hidayat atau UAH mengungkapkan tiga golongan ahlul-Qur’an yang tak diridhai Allah SWT. Siapa saja mereka? 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

1. Membaca Al-Qur’an tapi Dzalim

UAH menuturkan, golongan pertama yang rajin membaca Al-Qur’an tapi tak diridhoi Allah adalah mereka yang sering membaca Al-Qur’an tapi suka dzalim. Misalnya, dia tidak mampu menempatkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan tempatnya.

“Dzalim itu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ini penghapus buat menghapus tulisan di papan tulis, asalnya gitu, tapi digunakan untuk melempar orang misalnya, itu dzalim namanya,” kata UAH menganalogikan makna dzalim yang dimaksud, dikutip dari YouTube Al Aman TV.

Contoh konkritnya adalah sering membaca ayat pertama surah Al-Ikhlas, hafal ayatnya, dan tahu maknanya (hanya Allah yang Esa), tapi tidak menempatkan ayat tersebut sesuai tempatnya. 

“Dia katakan di lisannya semua agama sama. Celaka orang-orang yang dusta. Hafal ayatnya, sering baca, tahu artinya, tapi dia berdusta. Itu dzalim namanya. Jadi, ayat-ayat itu tidak dipraktikkan dalam perilaku hidup,” imbuh UAH.

3 dari 4 halaman

2. Membaca Al-Qur’an tapi Hanya untuk Dirinya Saja

UAH mengatakan, golongan kedua sudah meninggalkan sifat yang pertama, tapi belum ada nilai kebaikan yang dapat diberikan kepada orang lain. Jadi, membaca Al-Qur’an-nya sebatas untuk dirinya saja.

“Tampak kegiatan sehari-hari sering mojok di masjid misalnya, atau dekat tiang-tiang nyender baca ngulang-ngulang hafalan (Al-Qur’an), tapi kalau diminta ‘Mas bisa ngimamin?’ (Jawabnya) ‘Ah yang yang lain saja’. Nah, itu paket hemat kata Al-Qur'an. Hemat untuk dirinya, belum bisa diberikan pada yang lain,” UAH mencontohkan.

4 dari 4 halaman

3. Membaca Al-Qur’an tapi Tak Ada Perubahan pada Dirinya

UAH mengatakan, kesuksesan interaksi dengan Al-Qur’an dibuktikan dengan menampakkan diri pada perilaku baik dalam kehidupan. Orang yang sudah berada di level ini akan selalu menjadi nomor satu dalam mengerjakan kebaikan.

Namun, jika ternyata sering membaca Al-Qur’an tapi masih belum bisa mengimplementasikan dalam kehidupannya, berarti masuk ke golongan ketiga pembaca Al-Qur’an yang tak diridhoi Allah.

“Jadi, jangan bangga kalau anak Anda hafal 30 juz tap tidak merubah perilakunya. Yang bahaya itu hafalan banyak tapi perilaku semakin buruk. Ada yang salah tuh dalam hafalannya, ada yang keliru,” ujar UAH.

Menurut UAH, ciri-ciri orang yang sudah dekat dengan Al-Qur’an dapat dilihat dari perubahan lebih baik yang terjadi pada dirinya. Paling tidak orang yang sudah dekat dengan Al-Qur’an lebih tenang, terukur, dan lambat laun perilakunya beradab.

“Kalau ada kebaikan pengen segera dikerjakan. Kalau lihat sampah di masjid pengen segara ngambil (untuk dibuang ke tempatnya). Kalau lihat shaf kosong pengen ngejar shafnya. Itu dorongan kebaikannya cepat sekali. Semakin tinggi kecepatan berbuat baiknya ini menandakan semakin besar pengakuannya di hadapan Allah SWT dalam perubahan kebaikan,” pungkas UAH.

Wallahu a’lam.