Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan dakwah KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang dikenal luas dengan sebutan Gus Baha, mengalami transformasi yang cukup signifikan. Dulu, dia dikenal sebagai sosok yang sederhana, bahkan sering bepergian dengan menggunakan bus.
Namun, popularitasnya yang terus berkembang kini membuat situasi menjadi lebih kompleks.
Dalam sebuah tayangan video yang dikutip dari kanal YouTube @dakwah_1974, Gus Baha menceritakan pengalamannya tersebut.
Advertisement
"Dulu saya kalau pergi itu senang naik bus, bukan karena saya gak punya mobil, tapi karena saya sering membutuhkan waktu sendiri," ungkapnya.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dia memiliki kemampuan untuk bepergian menggunakan kendaraan pribadi, Gus Baha lebih memilih untuk tetap menggunakan bus demi mendapatkan waktu untuk diri sendiri.
Sebelum popularitasnya melonjak, Gus Baha merasa perjalanan dengan bus adalah kesempatan untuk merenung dan menjaga ketenangan hati.
"Saya sering mau butuh itu supaya gak diganggu," katanya, mengungkapkan betapa pentingnya waktu pribadi baginya di tengah kesibukan dakwah yang padat. Namun, keadaan kini jauh berbeda.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Tak Bisa Tolak, Menerima Juga Susah, Tak Ada Sanadnya Minta Foto
Keberadaannya yang kini dikenal luas membuat Gus Baha sering kali menghadapi tantangan baru. "Sekarang ya agak susah, banyak yang kenal, dan susahnya lagi bukan minta ijazah, malah minta foto," keluhnya. Permintaan untuk berfoto dengannyau sering kali datang dari orang-orang yang ingin mengenang momen bertemu dengan sosok yang mereka anggap sebagai ulama besar.
Bagi Gus Baha, permintaan untuk foto ini adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Mau-mau dibenci itu umatnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, mau disetujui itu sanadnya mana?" serunya, menunjukkan ketidaksenangannya terhadap fenomena ini. Baginya, yang lebih penting adalah sanad ilmu, bukan sekadar foto bersama tokoh.
Gus Baha dengan tegas mengungkapkan bahwa ketika bertemu dengan seorang alim, seharusnya yang diminta bukanlah foto.
"Kalau ketemu orang alim, minta apa? Foto itu gak ada sanadnya," ujar Gus Baha, mengingatkan umat untuk lebih menghargai substansi ilmu daripada sekadar simbolisme yang bersifat sementara.
Gus Baha kemudian melanjutkan cerita tentang pengalamannya bertemu dengan para ulama besar yang telah memberinya banyak pelajaran hidup.
"Ini tak baca ya, biar dapat karena ini kenangan saya sama Mbah Ahmad Siddiq," katanya sembari mengenang salah satu momen penting dalam perjalanan ilmunya. Kenangan dengan Mbah Ahmad Siddiq menjadi salah satu bagian yang tak terlupakan dalam hidupnya.
Gus Baha juga mengenang bagaimana Mbah Ahmad Siddiq mengisi kholnya di rumah Mbah Abdullah bin Umar, yang merupakan Abah dari Mbah Hamid. "Mbah saya itu Fatimah binti Khalid bin Umar, kalau Mbah Hamid itu Hamid bin Abdullah bin Umar," jelasnya. Kenangan tersebut memperlihatkan betapa pentingnya menjaga hubungan dengan para ulama dan sanad ilmu yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Â
Advertisement
Hargai Ilmu, Bukan Sekedar Foto
Mengapa sanad ilmu menjadi sangat penting bagi Gus Baha? Bagi beliau, ilmu bukan hanya soal pemahaman, tetapi juga tentang menjaga rantai sejarah yang menghubungkan antara para ulama dengan generasi berikutnya. "Sanad itu yang penting, bukan sekadar foto," tegas Gus Baha, menekankan pentingnya menjaga integritas dalam ilmu yang diajarkan.
Bagi Gus Baha, tujuan dakwah sejati adalah untuk memberi manfaat nyata bagi umat. "Dakwah itu bukan soal banyaknya pengikut, tapi soal kedalaman ilmu yang kita bagikan," ujarnya, menunjukkan bahwa beliau lebih mengutamakan kualitas dakwah daripada popularitas semata.
Popularitas yang kini diterima Gus Baha tidak membuatnya tergoda untuk merubah prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh para guru-gurunya. "Saya ingin tetap sederhana, meskipun banyak orang mengenal saya sekarang," ungkapnya dengan rendah hati. Keinginan untuk tetap sederhana ini adalah bagian dari nilai yang beliau pegang teguh.
Gus Baha juga mengingatkan bahwa niat yang tulus dalam setiap tindakan sangat penting. "Jangan sampai kita hanya mencari pujian, karena itu akan merusak niat kita," jelas Gus Baha. Niat yang tulus kepada Allah adalah dasar dari setiap langkah dakwah yang beliau lakukan.
Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang ulama, Gus Baha selalu berusaha untuk tidak terlalu bergantung pada ketenaran atau popularitas. "Saya ingin orang-orang mengenal saya bukan karena foto, tapi karena ilmu yang saya bawa," katanya, menegaskan bahwa bagi dirinya, yang utama adalah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi umat.
Gus Baha juga mengajak umat untuk lebih fokus pada esensi dari ilmu dan agama. "Mari kita belajar untuk lebih menghargai ilmu, bukan sekadar foto," ujarnya. Pesan ini disampaikannya dengan harapan bahwa umat bisa lebih memahami betapa pentingnya menjaga niat dan tujuan dalam mencari ilmu.
Meskipun banyak yang datang untuk meminta foto, Gus Baha tetap dengan prinsipnya. Beliau menyadari bahwa kehidupan seorang ulama tak dapat terhindar dari sorotan publik, namun tetap mengingatkan umat untuk selalu fokus pada hal-hal yang lebih penting, seperti mendalami ilmu agama.
"Ilmu itu tidak bisa diukur dengan popularitas," kata Gus Baha, mengingatkan bahwa ilmu adalah warisan berharga yang harus dijaga dan diteruskan. Popularitas yang datang seiring waktu bukanlah tujuan utama, tetapi sebagai sarana untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat.
Akhirnya, Gus Baha menegaskan bahwa tujuan hidup seorang ulama adalah memberi manfaat bagi umat tanpa terjebak pada kemasyhuran yang sementara. "Dakwah yang murni adalah dakwah yang memberi pencerahan bagi umat, bukan untuk mencari pengakuan," tutupnya. Pesan ini menunjukkan betapa beliau tetap berpegang pada nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para ulama sebelumnya.
Dengan pengajaran yang seperti ini, Gus Baha menunjukkan bahwa seorang ulama tidak hanya dihargai karena popularitasnya, tetapi lebih karena keikhlasannya dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi umat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul