Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah menjadi sorotan usai diduga menghina penjual es teh. Belakangan, dia meminta maaf usai banjir kecaman publik.
Jauh hari sebelum insiden ini terjadi, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha pernah mengingatkan agar umat Islam menjaga kehormatan sesama.
Dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube @alqolbumutayyam89, Gus Baha menjelaskan pentingnya menjaga adab dan kehormatan dalam berbicara, terutama kepada sesama muslim. Ia mengutip sebuah hadis yang menegaskan larangan keras untuk melecehkan sesama muslim.
Advertisement
“الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ,” ujar Gus Baha, mengutip sabda Rasulullah SAW.
Artinya, haram bagi seorang muslim dari muslim lainnya darahnya, hartanya, dan harga dirinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan menjadi landasan penting dalam menjaga hubungan antar sesama umat Islam.
Menurut Gus Baha, pelecehan terhadap sesama muslim, baik melalui tindakan, ucapan, maupun sikap merendahkan, adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam. Ia menjelaskan, “Wong nak wis Islam, haram dunyane mbok gasap, haram harga dirine mbok lecehno. Paham ngih?”
Pesan ini menjadi pengingat agar umat Islam lebih berhati-hati dalam berbicara. Gus Baha menegaskan, ucapan kasar atau merendahkan hanya akan menciptakan suasana yang tidak kondusif dan merusak hubungan antarsesama.
“Nak ngomong ilmu nemen-nemen nganti wong liyo koyo manuk ketulup iku ora oleh,” tegas Gus Baha, yang menggambarkan bagaimana ucapan berlebihan dapat membuat orang lain merasa bingung dan tertekan.
Simak Video Pilihan Ini:
Orang Berilmu Gayanya akan Seperti Orang Awam
Gus Baha juga menjelaskan bahwa ulama sejati cenderung bersikap rendah hati ketika berinteraksi dengan orang lain. “Roto-roto ulama tenanan nak ketemu wong gayane gaya awam,” katanya. Hal ini karena berbicara dengan ilmu yang terlalu tinggi justru bisa dianggap merendahkan orang lain.
“Perkarane, nak kowe ngomong ilmu berlebihan, podo karo gawe suasana ndekné koyo manuk ketulup, hah hoh (bingung),” lanjutnya. Karena itu, ulama yang berkelas cenderung menggunakan pendekatan humor atau guyonan saat berinteraksi dengan masyarakat umum.
Ia mencontohkan situasi di mana seseorang menggunakan ilmu tinggi sehingga orang lain terlihat seperti tidak tahu apa-apa. “Lha iku ora oleh, nggawe suasana wong ketok gobloke, kowe ketokno pintere. Iku pelecehan,” tegas Gus Baha.
Menurut Gus Baha, perilaku seperti ini harus dihindari, terutama oleh para pendakwah atau tokoh agama. Mereka harus mampu membawa suasana yang nyaman dan membangun, bukan malah membuat orang merasa terhina.
Pentingnya menjaga adab dalam berbicara ini juga ditekankan sebagai bagian dari menghormati kehormatan sesama muslim. Gus Baha mengingatkan bahwa setiap muslim memiliki hak untuk dihormati, baik dalam aspek darah, harta, maupun harga diri.
“Jadi, nak ketemu wong ya ojo digasak dunyane, ojo dihinakake harga dirine,” ujarnya. Penekanan ini menjadi relevan, terutama dalam konteks dakwah, di mana pendakwah seharusnya memberikan teladan yang baik kepada umat.
Advertisement
Ulama yang Baik Bicaranya Baik
Gus Baha juga mengingatkan bahwa dakwah yang efektif tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menciptakan suasana yang ramah dan penuh kasih sayang. “Ulama sing bener mesthi paham ngene. Nak ngomong ya ndak nggawe wong liyane kikuk,” katanya.
Pesan ini memberikan pelajaran penting bahwa dakwah dan interaksi sosial tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga adab dan akhlak.
Sikap merendahkan orang lain tidak hanya merusak hubungan, tetapi juga mencederai ajaran Islam itu sendiri.
Dalam akhir ceramahnya, Gus Baha mengajak umat untuk menjaga kehormatan sesama dan menjauhi sikap yang merendahkan.
“Ngomong sing apik, nganggo akhlak, amarga kabeh iki tanggung jawab kita nang ngarsané Allah,” pungkasnya.
Pesan ini menjadi pengingat penting di tengah dinamika sosial yang sering kali diwarnai oleh konflik verbal. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga hubungan harmonis, termasuk dengan cara menjaga lisan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul