Sukses

Santri Dapat Ijazah Bertemu Nabi Khidir yang Kasih Malah belum Pernah Ketemu, Cerita Lucu Gus Baha

Menurut Gus Baha, hal ini terjadi karena banyak orang merasa malu atau gengsi untuk mengakui ketidaktahuan. Akibatnya, mereka memaksakan diri memberikan jawaban atau solusi yang sebenarnya di luar kapasitas mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Cerita KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) selalu penuh hikmah, disampaikan dengan gaya khas yang ringan dan menghibur. Salah satu kisahnya kali ini mengangkat isu lucu sekaligus kritis tentang fenomena memaksakan diri untuk selalu bisa menjawab pertanyaan, meskipun tidak memiliki pengetahuan yang cukup.

Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha bercerita tentang pengalaman unik di pesantren terkait pemberian ijazah-ijazah tertentu yang kadang tidak masuk akal. Cerita ini tidak hanya membuat jamaah tertawa, tetapi juga memberikan pelajaran penting.

Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @TitianSantri, Gus Baha memulai kisahnya dengan mengangkat contoh seorang santri di pondok pesantren. "Wis karuan Joko Tuo, kok malah ngasih ijazah mahabah. Maksudnya biar dicintai, hahaha," ucap Gus Baha sambil tertawa, diikuti gelak tawa jamaah.

Fenomena ini, menurut Gus Baha, sering terjadi di banyak pesantren. Ada saja orang yang merasa harus memberikan ijazah tertentu, meskipun pengetahuan mereka tentang itu sangat terbatas. Salah satunya adalah ijazah laduni.

"Ijazah laduni itu apa? Agar diberi pengetahuan luas dan kemudahan belajar. Tapi sing maringi ijazah yo ora tau munggah sekolah, kok iso nggih?" lanjut Gus Baha sambil tersenyum.

Ia menyoroti bahwa banyak dari pemberi ijazah laduni bahkan tidak memiliki pengalaman pendidikan yang cukup, apalagi pengetahuan mendalam. "Itu lho, di pondok-pondok beredar nggak ijazah ketemu Nabi Khidir AS? Padahal sing ijazahi juga enggak pernah ketemu Nabi Khidir," ujarnya dengan nada menggelitik.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Gengsi Mengakui Ketidaktahuan

Menurut Gus Baha, hal ini terjadi karena banyak orang merasa malu atau gengsi untuk mengakui ketidaktahuan. Akibatnya, mereka memaksakan diri memberikan jawaban atau solusi yang sebenarnya di luar kapasitas mereka.

"Kalau ndak bisa, ya bilang saja ndak bisa. Ndak usah memaksakan diri," kata Gus Baha tegas. Pernyataan ini menunjukkan pentingnya kejujuran, terutama dalam dunia pendidikan dan agama, di mana ilmu harus disampaikan dengan benar.

Fenomena pemberian ijazah yang asal-asalan juga menjadi bahan introspeksi. Gus Baha memberikan contoh lain, yaitu beredarnya ijazah agar bisa bermimpi bertemu Rasulullah. "Yo beredar kan? Wong gak pernah ketemu kok kasih ijazah, lucu kan?" katanya lagi.

Cerita Gus Baha ini tidak hanya lucu, tetapi juga menyentil realitas di masyarakat. Banyak orang lebih memilih memberikan jawaban asal-asalan ketimbang mengakui keterbatasan mereka. Hal ini, menurut Gus Baha, dapat berdampak pada penyebaran informasi yang tidak valid.

Jamaah yang mendengarkan pengajian ini tertawa sambil mengangguk tanda setuju. Humor Gus Baha berhasil menyampaikan pesan penting tanpa terasa menggurui.

Dalam pandangan Gus Baha, ketidaktahuan bukanlah aib. Justru, mengakui bahwa kita tidak tahu adalah langkah awal untuk belajar dan mencari jawaban yang benar.

3 dari 3 halaman

Lebih Baik Kedepankan Kejujuran

Ia menekankan bahwa keilmuan sejati membutuhkan kejujuran. Ketika seseorang tidak tahu sesuatu, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah belajar atau meminta bantuan dari mereka yang lebih paham.

"Kalau kepingin ngimpi ketemu Rasulullah, ya usaha lewat doa yang benar. Ndak usah pake ijazah-ijazah aneh," kata Gus Baha, mengingatkan jamaah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang sesuai syariat.

Cerita ini menjadi refleksi bagi banyak pihak, terutama di lingkungan pendidikan agama. Guru atau ustaz yang memberikan pengajaran harus memiliki pemahaman yang benar agar tidak menyesatkan muridnya.

Selain itu, jamaah juga diingatkan untuk selalu kritis dan tidak mudah percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal. Menurut Gus Baha, akal sehat adalah salah satu anugerah yang harus digunakan dalam memahami agama.

Gus Baha menutup kisahnya dengan senyuman, menegaskan bahwa humor dalam ceritanya bukan untuk merendahkan siapa pun, melainkan sebagai cara menyampaikan pesan yang lebih mudah diterima.

Dengan gaya penyampaiannya yang sederhana namun tajam, Gus Baha terus menginspirasi banyak orang. Kisah ini mengajarkan pentingnya kejujuran, baik dalam ilmu maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul