Sukses

Mahfud Md Ungkap Fenomena 'Gus' Populer sejak Gus Dur jadi Presiden, Begini Kisahnya

Menurut Mahfud Md, sebelum era Gus Dur, masyarakat awam tidak begitu mengenal istilah Gus. Gelar tersebut hanya digunakan di lingkungan pesantren untuk menyebut putra seorang kiai

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena "Gus" menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, terutama setelah KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Gelar yang awalnya hanya dikenal di kalangan pesantren kini menjamur hingga menjadi simbol populer di tengah masyarakat.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, turut memberikan pandangannya terkait fenomena ini dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi swasta. Ia menyoroti perubahan makna gelar "Gus" dari tradisi pesantren menjadi tren yang bersifat komersial.

“Dulu, sebelum Gus Dur jadi presiden, yang namanya Gus itu hanya satu, yaitu Gus Dur. Sekarang banyak yang mengaku-ngaku sebagai Gus,” ungkap Mahfud Md dalam video yang juga tayang di kanal YouTube @kanalunik.

Menurut Mahfud, sebelum era Gus Dur, masyarakat awam tidak begitu mengenal istilah Gus. Gelar tersebut hanya digunakan di lingkungan pesantren untuk menyebut putra seorang kiai. Bahkan, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, masih banyak yang salah kaprah mengira Gus Dur adalah nama lengkap.

“Waktu itu, Gus Dur sampai menjelaskan sendiri, ‘Kalau sudah panggil Gus Dur, nggak usah panggil Pak. Gus itu pengganti Bapak di pesantren. Kalau mau panggil Pak, ya Pak Dur, kalau mau Gus, ya Gus Dur,’” kata Mahfud, menirukan gaya bicara Gus Dur.

Di era Gus Dur, istilah Gus memiliki makna yang mendalam. Gelar ini merujuk pada tradisi pesantren yang menempatkan putra seorang kiai pada posisi istimewa. Mereka dianggap sebagai penerus ilmu dan pemimpin pesantren di masa depan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Banyak yang Klaim Nama Gus

Namun, setelah Gus Dur menjadi presiden, istilah Gus mulai diadopsi secara luas. Banyak orang menggunakan gelar tersebut sebagai identitas, baik di kalangan pesantren maupun masyarakat umum. Tren ini kemudian meluas menjadi fenomena yang kerap kali tidak sesuai dengan makna aslinya.

“Sekarang, Gus itu sering dipakai untuk dagangan atau pencitraan,” tambah Mahfud.

Ia menyinggung bagaimana gelar ini terkadang dipakai oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pesantren atau hubungan dengan kiai.

Fenomena ini juga mengubah persepsi masyarakat terhadap pesantren. Dulu, pesantren sering dianggap kuno dan terisolasi dari dunia luar. Namun, setelah Gus Dur tampil di panggung nasional, dunia pesantren mendapat perhatian lebih.

“Gus dulu itu eksklusif, hanya dikenal di lingkungan pesantren. Santrinya ya tetap dipanggil santri, bukan Gus. Tapi sekarang, banyak yang mengklaim sebagai Gus,” jelas Mahfud.

Di sisi lain, sebagian kalangan menyambut baik fenomena ini karena dianggap mampu mengangkat citra pesantren ke tingkat nasional. Tradisi pesantren yang awalnya hanya dikenal di kalangan terbatas, kini menjadi bagian dari budaya populer.

Namun, Mahfud mengingatkan agar gelar Gus tidak kehilangan esensi utamanya. Menurutnya, gelar ini seharusnya mencerminkan nilai-nilai keilmuan, kesederhanaan, dan kepemimpinan yang diajarkan di pesantren.

3 dari 3 halaman

Gus Bukan Sembarang Gelar

“Saya tidak ingin istilah Gus ini kehilangan makna aslinya. Gus itu bukan sembarang gelar, ada nilai historis dan budaya di baliknya,” ujarnya.

Banyak tokoh pesantren yang juga merasakan perubahan ini. Beberapa di antaranya mengaku khawatir fenomena ini akan melunturkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren.

Namun demikian, tidak bisa disangkal bahwa Gus Dur telah membawa perubahan besar bagi dunia pesantren dan istilah Gus itu sendiri. Sosoknya menjadi simbol dari keberhasilan pesantren dalam melahirkan pemimpin nasional.

Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang humoris, cerdas, dan peduli pada keberagaman. Warisannya terus dikenang, baik dalam dunia pesantren maupun masyarakat umum.

Dengan segala dinamika yang ada, istilah Gus kini telah menjadi bagian penting dari identitas budaya Indonesia. Meskipun ada pro dan kontra, fenomena ini menunjukkan bagaimana tradisi lokal dapat berkembang seiring perubahan zaman.

Fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa gelar atau sebutan sebaiknya digunakan dengan penuh tanggung jawab. Esensi dari gelar tersebut harus tetap dijaga agar tidak kehilangan maknanya yang luhur.

“Kalau mau pakai gelar Gus, ya jangan asal-asalan. Pahami dulu apa artinya,” pungkas Mahfud.

Dari tradisi pesantren hingga menjadi fenomena nasional, istilah Gus telah melampaui batas-batas yang pernah ada. Kini, giliran masyarakat untuk menjaga dan menghormati makna di balik gelar tersebut.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul