Sukses

Kisah Wafatnya Abu Nawas dan Secarik Kertas yang Menggetarkan Hati

Di atas kertas itu tertulis sebuah syair yang begitu menyentuh hati. Syair tersebut mencerminkan kerendahan hati Abu Nawas dalam menghadapi Sang Pencipta. Isi syair itu menjadi pengingat bagi siapa saja tentang pentingnya pengharapan kepada Allah.

Liputan6.com, Jakarta - Meninggalnya Abu Nawas, seorang tokoh yang dikenal karena keunikannya, begitu mengundang perhatian. Sosok jenaka ini ternyata menyimpan pelajaran mendalam di akhir hayatnya.

Dikutip dari kanal YouTube @Cerpen_Islami, diceritakan bahwa saat Abu Nawas wafat, Imam Syafi’i dikabarkan enggan mensholati jenazahnya. Kabar ini mengejutkan banyak orang karena hubungan antara keduanya dikenal baik.

Peristiwa ini terjadi saat jenazah Abu Nawas hendak dimandikan. Salah satu muridnya yang membantu proses itu menemukan secarik kertas di kantong baju Abu Nawas. Penemuan ini kemudian mengubah suasana menjadi penuh haru.

Di atas kertas itu tertulis sebuah syair yang begitu menyentuh hati. Syair Abu Nawas tersebut mencerminkan kerendahan hati Abu Nawas dalam menghadapi Sang Pencipta.

Isi syair itu menjadi pengingat bagi siapa saja tentang pentingnya pengharapan kepada Allah.

Berikut isi syair tersebut:"Wahai Tuhanku dosa-dosaku sungguh besar dan banyak namun aku yakin ampunan-Mu jauh lebih besar. Jika hanya orang baik yang boleh berharap kepada-Mu, lantas kepada siapa pendosa sepertiku akan berlindung?"

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Syair Abu Nawas yang Menggetarkan Hati

Syair itu juga berbunyi, "Aku datang memohon seperti yang Kau perintahkan dalam segala kehinaan dan kerendahanku. Jika Engkau menolak tanganku, lantas siapa lagi yang memiliki kasih sayang? Hanya harapan kepada-Mu yang tersisa bersama keindahan ampunan-Mu. Aku pasrah pada-Mu."

Saat syair ini dibacakan kepada Imam Syafi’i, tanggapannya sungguh mengejutkan. Imam Syafi’i menangis tersedu-sedu, merasakan kedalaman makna dari setiap kata dalam syair tersebut.

Tangisan Imam Syafi’i menunjukkan bahwa apa yang tertulis dalam kertas itu bukan sekadar ungkapan biasa. Syair tersebut menggambarkan hubungan spiritual yang mendalam antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Setelah membaca syair tersebut, Imam Syafi’i segera berubah pikiran. Ia langsung mensholati jenazah Abu Nawas dengan penuh penghormatan. Keputusan ini menunjukkan bagaimana sikap seseorang bisa berubah karena pengaruh sebuah pesan yang tulus.

Doa-doa dipanjatkan oleh Imam Syafi’i untuk Abu Nawas, menandakan bahwa syair tersebut menyentuh hati siapa pun yang membacanya. Keikhlasan Abu Nawas dalam menyerahkan dirinya kepada Allah menjadi pelajaran penting.

Kisah ini memberikan banyak hikmah bagi siapa saja yang mendengarnya. Salah satunya adalah bagaimana manusia harus selalu berharap kepada Allah, bahkan di saat merasa penuh dosa.

3 dari 3 halaman

Pelajaran dari Tulisan Abu Nawas di Secarik Kertas

Syair yang ditulis Abu Nawas juga mengajarkan bahwa pengharapan kepada Allah adalah hak semua hamba, baik yang merasa diri penuh dosa maupun yang sudah berusaha menjadi baik.

Imam Syafi’i, sebagai ulama besar, tidak hanya menunjukkan penghormatan kepada Abu Nawas, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap terhadap sesama.

Kisah ini juga menggambarkan bahwa penyesalan dan pengakuan dosa adalah bagian dari perjalanan spiritual. Abu Nawas menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk mendekat kepada Allah.

Melalui secarik kertas di saku Abu Nawas, pelajaran besar tentang kerendahan hati, harapan, dan pengakuan dosa disampaikan kepada umat. Hal ini mengingatkan bahwa akhir kehidupan seseorang sering kali menjadi cermin dari perjalanan hidupnya.

Pesan yang tersirat dalam syair tersebut relevan bagi siapa saja yang merasa dirinya tidak sempurna. Tidak ada manusia yang luput dari dosa, tetapi pengampunan Allah selalu lebih besar dari kesalahan manusia.

Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa di balik sikap jenaka Abu Nawas, ada kebijaksanaan mendalam yang ia tinggalkan sebagai warisan.

Pada akhirnya, kisah ini mengajarkan bahwa setiap manusia, apa pun latar belakangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Harapan dan pengampunan adalah jalan bagi siapa saja yang mau merendahkan hati di hadapan-Nya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul