Liputan6.com, Jakarta - Hari Natal diperingati oleh umat Kristiani setiap tanggal 25 Desember. Natal hadir dengan suasana yang khas dan berdekatan dengan pergantian Tahun Baru Masehi.
Berbagai kalangan masyarakat dari pemeluk agama lainnya juga turut mengucapkan selamat kepada umat Nashrani. Namun, hal ini menyebabkan munculnya perdebatan, mengenai hukum mengucapkan selamat Natal khususnya bagi umat muslim menjelang perayaan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Ini merupakan hal yang wajar karena adanya perbedaan pandangan di antara individu. Begitu pula dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkannya.
Selain itu, banyak pula perbincangan terkait hukum memakai atribut Natal. Termasuk apakah bagi umat Islam diperbolehkan menerima hadiah Natal dari umat Kristiani.
Â
Saksikan Video Pilihan ini:
Hukum Mengucapkan Selamat Natal
Dikutip dari NU Online, perihal mengucapkan selamat Natal disebutkan bahwa tidak ada ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehannya. Padahal, kondisi sosial saat Nabi Muhammad saw hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).Â
Dengan fakta ini, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yakni permasalahan yang masih diperdebatkan. Para ulama yang membolehkan dan mengharamkan sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadis yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini.Â
Di antara ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal adalah Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi. Sementara ulama yang memperbolehkan di antaranya Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, dan Majelis Fatwa Mesir.
Dengan perbedaan ini umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan.
Lalu bagaimana hukumnya memakai atribut Natal. Apakah memakai atribut Natal termasuk dalam kategori toleransi yang masih dibenarkan oleh syara’, atau justru merupakan wujud toleransi yang berlebihan?
Advertisement
Hukum Memakai Atribut dan Menerima Hadiah Natal
Disebutkan bahwa seorang Muslim yang memakai atribut Natal dapat dipastikan ia menyerupai orang non-Muslim dalam hal busana yang menjadi identitas mereka.Â
Meski hal ini diatasnamakan toleransi atau simpati terhadap hari raya mereka, namun jika diekspresikan dengan cara demikian maka hal tersebut tidak diperbolehkan dalam syara’. Sebab, berbusana dengan memakai atribut Natal sudah berada di luar ranah toleransi, sebab hal ini menjadi bagian dari larangan tasyabbuh bi al-kuffar (menyerupai non-Muslim) yang diharamkan oleh syara’.
Namun, bagaimana jika ada seorang karyawan yang diharuskan memakai atribut Natal oleh atasannya? Dalam masalah ini, karyawan tetap tidak diperkenankan untuk mematuhi kebijakan dari atasannya. Sampai pun muncul adanya ancaman, tidak sampai menjadikan pemakaian atribut Natal menjadi hal yang dilegalkan oleh syara’.Â
Terkait dengan hukum menerima hadiah Natal dari non-Muslim, bahwa Al-Qur’an tidak melarang umat Islam untuk bergaul dengan kalangan non-Muslim. Selain itu, Al-Qur’an juga tidak melarang umat Islam menerima hadiah dari kalangan non-Muslim.Â
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah menerima hadiah dari non-Muslim berupa keledai baydha dari Raja Ilah dan jubah sutra dari Ukaidir Dumah yang beragama Kristen. Sehingga hal ini bisa menjawab perdebatan tentang penerimaan hadiah oleh seorang Muslim dari non-Muslim.