Liputan6.com, Jakarta - Gegap gempita menyambut tahun baru selalu menghadirkan semangat baru bagi banyak orang. Dari berbagai penjuru dunia, perayaan yang meriah dengan kembang api, musik, dan beragam acara khas seringkali menyelimuti malam pergantian tahun.
Masyarakat menyambut momen ini dengan penuh harapan, berdoa agar tahun yang baru membawa kebahagiaan, kesuksesan, dan perbaikan dalam hidup.
Meskipun tradisi ini tak lepas dari beragam kebiasaan sosial, ia menjadi simbol dari upaya untuk melupakan kesulitan di tahun sebelumnya dan memulai lembaran baru dengan optimisme.
Advertisement
Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan makna sejati dari perayaan tersebut. Bagi sebagian kalangan, euforia yang menyertai tahun baru sering kali dianggap berlebihan dan jauh dari nilai-nilai dan norma.
Terdapat anggapan bahwa terlalu banyak fokus pada perayaan eksternal mengalihkan perhatian dari refleksi diri atau peningkatan kualitas hidup
Perayaan tahun baru memang selalu menghadirkan suasana riuh di banyak negara, termasuk Indonesia. Setiap tahunnya, tanggal 1 Januari menjadi momen yang dinantikan dengan beragam kegiatan, mulai dari pesta, hiburan, hingga berkumpul dengan keluarga.
Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan, apakah merayakan tahun baru adalah bentuk tasyabbuh tradisi orang nonmuslim (kafir), atau sekadar bagian dari tradisi sosial yang tidak berhubungan dengan agama?
Dalam kajian Islam, pertanyaan ini menjadi topik yang cukup kontroversial dan sering dibahas oleh para ulama.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Beberapa Orang Menentang Perayaan Tahun Baru
Mengutip bincangsyariah.com, Tasyabbuh, dalam konteks fikih Islam, merujuk pada meniru atau mencontoh kebiasaan yang menjadi ciri khas suatu kelompok atau agama, terutama non-muslim.
Beberapa orang yang menentang perayaan tahun baru berpendapat bahwa merayakannya merupakan bentuk peniruan terhadap kebiasaan orang-orang kafir, yang dalam pandangan mereka bisa berdampak pada kekufuran atau penurunan moral umat Islam.
Namun, apakah benar demikian? Apakah perayaan tahun baru tersebut memang tasyabbuh, ataukah hanya tradisi sosial yang tidak ada kaitannya dengan ritual keagamaan?
Di dalam ajaran Islam, menjaga identitas sebagai seorang muslim sangat ditekankan. Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam meniru kebiasaan orang-orang non-muslim, sebagaimana tercatat dalam banyak hadits yang mengkritik kecenderungan umat untuk mengikuti jejak mereka.
Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, yang menyebutkan bahwa umat Islam akan mengikuti jejak orang-orang sebelum mereka sejengkal demi sejengkal, bahkan sampai mengikuti langkah orang Yahudi dan Nasrani.
Â
Advertisement
Sampai Kehilangan Jati Diri
Hadis ini menggambarkan kekhawatiran Nabi terhadap tasyabbuh, yang bisa membuat umat Islam kehilangan jati diri dan mengikuti kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Salah satu aspek yang disebutkan adalah perbedaan dalam gaya hidup, termasuk dalam hal perawatan diri, seperti kumis dan jenggot. Dalam sebuah hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW juga menegaskan agar umat Islam tampil berbeda dengan orang musyrik dalam hal penampilan fisik, seperti memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.
Selain itu, dalam konteks pakaian, Nabi juga melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas orang kafir pada masa itu, sebagaimana tercatat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadits tersebut, Nabi menyarankan agar umat Islam tidak mengenakan pakaian yang diwarnai dengan cara yang digunakan oleh orang-orang kafir pada zaman beliau. Hal ini menunjukkan bahwa tasyabbuh bisa mencakup banyak aspek kehidupan, mulai dari penampilan, kebiasaan, hingga ritual tertentu.
Namun, perlu dicatat bahwa perayaan tahun baru yang hanya melibatkan kebiasaan sosial, seperti berkumpul, makan bersama, atau sekadar menikmati kembang api, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai tasyabbuh. Sebagian ulama berpendapat bahwa tasyabbuh yang diharamkan dalam Islam adalah ketika seseorang meniru kebiasaan yang memang menjadi simbol atau identitas agama non-muslim, seperti merayakan Natal atau ikut dalam ritual keagamaan mereka. Perayaan tahun baru yang lebih bersifat sosial, tanpa kaitannya dengan ibadah atau ritual agama lain, bisa jadi tidak masuk dalam kategori ini.
Jamil bin Habib al-Luwaihiq dalam kitabnya "Tasyabbuh al-Manhiy ‘anhu fī Fiqh Islamy" menjelaskan bahwa tasyabbuh yang dilarang adalah meniru kebiasaan yang menjadi simbol atau syiar agama non-muslim. Misalnya, jika seseorang meniru ritual ibadah Natal atau merayakan Hari Raya yang terkait dengan agama tertentu, hal tersebut bisa dianggap sebagai tasyabbuh yang diharamkan. Namun, jika perayaan tahun baru hanya melibatkan kebiasaan sosial yang tidak berhubungan dengan agama, maka hal tersebut tidak bisa disamakan dengan tasyabbuh.
Dalam prakteknya, banyak umat Islam yang merayakan tahun baru tanpa melibatkan unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti minum alkohol, berjudi, atau perbuatan maksiat lainnya. Mereka mungkin merayakan tahun baru hanya dengan berkumpul bersama keluarga, teman, atau melakukan kegiatan sosial lainnya. Dalam pandangan beberapa ulama, perayaan seperti ini tidak haram, karena tidak ada unsur yang bertentangan dengan syariat Islam.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, setiap perbuatan harus dilihat dari niat dan tujuannya. Jika tujuan merayakan tahun baru adalah untuk mempererat hubungan sosial, menjaga silaturahmi, atau sekadar menikmati momen pergantian tahun dengan cara yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, maka perayaan tersebut bisa dianggap sah-sah saja. Sebaliknya, jika perayaan tahun baru diwarnai dengan perbuatan yang melanggar syariat, seperti maksiat atau kegiatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka hal tersebut tentunya menjadi masalah.
Tak Rayakan Khawatir Tergolong Tasyabbuh
Sebagian orang mungkin memilih untuk tidak merayakan tahun baru dengan alasan bahwa hal itu bisa jadi tasyabbuh, atau karena alasan pribadi lainnya. Pilihan ini adalah hak individu dalam Islam, dan seharusnya dihormati. Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih, selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, bagi mereka yang merasa ragu atau tidak yakin tentang perayaan tahun baru, tidak ada salahnya untuk memilih untuk tidak ikut merayakannya.
Bagi umat Islam yang memutuskan untuk merayakan tahun baru, sangat penting untuk menjaga perayaan tersebut agar tidak terjebak dalam kegiatan yang diharamkan. Misalnya, menghindari acara yang melibatkan alkohol, perjudian, atau perbuatan maksiat lainnya. Dengan demikian, perayaan tahun baru bisa menjadi kegiatan yang positif, tanpa melanggar ajaran agama.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa merayakan tahun baru tidaklah wajib, dan tidak ada anjuran khusus dalam Islam untuk merayakannya. Namun, jika seseorang memilih untuk merayakan, maka penting untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Perayaan yang tidak berlebihan dan tidak melibatkan kegiatan yang haram, bisa dianggap sebagai hal yang sah-sah saja.
Pada akhirnya, perayaan tahun baru bisa dilihat dari berbagai perspektif. Bagi sebagian orang, itu hanyalah sebuah tradisi sosial yang tidak ada kaitannya dengan agama, sementara bagi sebagian yang lain, itu bisa dianggap sebagai bentuk tasyabbuh. Yang terpenting adalah menjaga niat yang baik dan memastikan bahwa setiap tindakan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bagi umat Islam, yang terpenting adalah selalu berusaha untuk menjaga identitas sebagai seorang muslim yang taat, serta selalu berusaha melakukan perbuatan yang membawa manfaat dan kebaikan. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu bertindak dengan hati-hati dan tidak terburu-buru dalam mengikuti kebiasaan atau tradisi yang tidak jelas asal-usulnya.
Semoga penjelasan ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apakah merayakan tahun baru termasuk tasyabbuh atau sekadar tradisi. Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement