Liputan6.com, Cilacap - Dalam literatur fiqih, mahar atau mas kawin disebut dengan istilah lain yakni shadaq. Shadaq secara bahasa ialah sesuatu yang sangat keras. Sedangkan secara istilah, shadaq artinya harta yang dikeluarkan oleh laki-laki dan diberikan kepada wanita yang ia nikahi.
Pembahasan seputar mahar nikah ini cukup menarik, di antaranya yang menjadi pertanyaan ialah ketika saat akad nikah ternyata nominal mahar lebih sedikit dari kesepakatan awal ini.
Hal ini juga menjadi salah satu pertanyaan seseorang sebagaimana dimuat di laman NU Online.
Advertisement
“Perkenalkan, saya Moko dari Kebumen. Mohon izin ingin bertanya. Saya berencana menikah tahun depan dan ingin menjadikan mahar sesuai dengan tanggal ijab kabul, yaitu 8 April 2025.”
“Rencananya, mahar berupa uang sejumlah Rp842.025. Namun, di depan penghulu, saya berencana memberikan uang Rp842.100 karena pecahan Rp25 sudah tidak berlaku di Indonesia.”
Baca Juga
“Pertanyaannya, apakah mahar tersebut tetap sah meskipun ada selisih antara nominal mahar yang disebutkan dengan jumlah uang yang diberikan saat akad?” demikian pertanyaan seseorang sebagaimana dikutip dari laman NU Online, Minggu (05/01/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Wajib Diberikan Suami tapi Bukan Syarat Sahnya Pernikahan
Dalam jawabannya, pengasuh kanal di NU Online menjelaskan, Islam mewajibkan mahar kepada suami untuk menjaga kehormatan wanita, agar ia tidak sampai mengorbankan martabatnya demi mengumpulkan harta yang akan diberikan sebagai mahar kepada laki-laki, sebagaimana dijelaskan oleh Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha dan Ali As-Syharbiji dalam Al-Fiqhul Manhaji Jilid IV (Damaskus, Darul Qalam, cetakan ke-III, 1992: 75).
Penting juga untuk diketahui bahwa Mahar pernikahan wajib diberikan oleh suami setelah akad, baik disebutkan dalam akad atau tidak. Namun, mahar bukan rukun atau syarat sah nikah. Karena itu, kekurangan, ketidaksesuaian, atau cacat pada mahar tidak memengaruhi keabsahan akad nikah. Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu Jilid IX (Damaskus, Darul Fikr: 1418 H: 6071) menjelaskan:
وقال الجمهور: لا يفسد العقد بالزواج بدون مهر، أو باشتراط عدم المهر، أو بتسمية شيء لا يصلح مهراً؛ لأن المهر ليس ركناً في العقد ولا شرطاً له، بل هو حكم من أحكامه، فالخلل فيه لا تأثير له على العقد. وهذا هو الراجح، إذ لو كان المهر شرطاً في العقد لوجب ذكره حين العقد، وهو لا يجب أن يذكر حين العقد لكن يجب مهر المثل
Artinya, "Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad nikah tidak menjadi batal jika dilakukan tanpa mahar, dengan syarat tidak adanya mahar, atau dengan menyebut sesuatu yang tidak layak dijadikan mahar. Hal ini karena mahar bukan merupakan rukun dalam akad, juga bukan syaratnya, melainkan salah satu konsekuensi hukum dari akad tersebut. Oleh karena itu, kekurangan atau cacat dalam hal mahar tidak mempengaruhi keabsahan akad. Pendapat ini lebih kuat, sebab jika mahar merupakan syarat dalam akad, maka ia harus disebutkan saat akad. Namun, pada kenyataannya, penyebutan mahar saat akad tidak diwajibkan, tetapi yang diwajibkan adalah mahar mitsil (mahar yang sepadan) jika mahar tidak disebutkan."
Advertisement
Nikahnya Tetap Sah
Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya perbedaan atau selisih antara nominal mahar yang disebutkan saat akad (Rp 842.025) dengan kenyataan nominal mahar yang diberikan (Rp. 842.100), yang mempunyai selisih Rp. 75, tidak sama sekali mempengaruhi keabsahan akad nikah.
Artinya akad nikahnya tetap sah. Adapun selisih Rp. 75 menurut pandangan Mazhab Syafi'i tidak termasuk dari mahar, melainkan hibah, sedangkan nominal maharnya adalah sebagaimana mahar musamma-nya, yakni Rp. 842.025. Syekh Wahbah menjelaskan dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu Jilid IX (hlm. 6796):
وقال الشافعي: لا تلحق الزيادة بالعقد، فإن زادها فهي هبة تفتقر إلى شروط الهبة، وإن طلقها بعد هبتها لم يرجع بشيء من الزيادة؛ لأن الزوج ملك البضع بالمسمى في العقد، فلم يحصل بالزيادة شيء من المعقود عليه، فلا تكون عوضاً في النكاح، كما لو وهبها شيئاً
Artinya, "Imam Syafi'i berpendapat bahwa tambahan mahar tidak terkait dengan akad. Sehingga jika seorang suami menambah mahar setelah akad, maka tambahan tersebut dianggap sebagai hibah yang memerlukan syarat-syarat hibah. Apabila suami menceraikan istrinya setelah memberikan tambahan mahar, ia tidak berhak menarik kembali tambahan tersebut." "Hal ini karena suami telah memiliki hak atas hubungan suami-istri (budhu') berdasarkan mahar yang disebutkan dalam akad, sehingga tambahan mahar tidak termasuk dalam hal yang menjadi objek akad. Oleh karena itu, tambahan tersebut tidak dapat dianggap sebagai kompensasi dalam pernikahan, sebagaimana jika ia memberikan sesuatu kepada istrinya sebagai hibah."
Dari paparan penjelasan dapat disimpulkan bahwa selisih nominal mahar antara yang disebutkan dalam akad (mahar musamma) dengan yang diberikan di mana yang diberikan melebihi dari mahar musamma tidak mempengaruhi keabsahan akad. Adapun kelebihan dari nominal mahar musamma bukan termasuk mahar melainkan hibah dari suami kepada istri. Wallahu a'lam.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul