Liputan6.com, Jakarta Puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap muslim yang harus dijalankan dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Namun, masih banyak pertanyaan yang muncul tentang hal-hal yang dapat membatalkan puasa, termasuk perihal berbohong. Apakah berbohong membatalkan puasa? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan umat Islam, terutama ketika sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Advertisement
Dalam praktiknya, banyak muslim yang masih belum memahami secara komprehensif mengenai hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Salah satu keraguan yang sering muncul adalah apakah berbohong membatalkan puasa atau tidak. Berbohong sendiri merupakan tindakan yang dilarang dalam ajaran Islam, tetapi apakah hal ini memiliki dampak langsung terhadap keabsahan puasa seseorang menjadi pertanyaan yang perlu dijawab dengan tepat.
Untuk menjawab keraguan tersebut, perlu pemahaman mendalam tentang apakah berbohong membatalkan puasa berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an, hadits, dan pendapat para ulama. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai status berbohong dalam ibadah puasa dan bagaimana dampaknya terhadap keabsahan puasa yang sedang dijalankan. Dengan memahami hal ini, diharapkan umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan lebih sempurna dan terhindar dari berbohong yang dapat mengurangi kualitas puasa.
Berikut penjelasan lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Minggu (9/3).
Pemilik tiga zodiak ini dikenal paling sering berbohong.
Kedudukan Berbohong dalam Islam
Berbohong dalam Islam termasuk dalam perbuatan yang sangat dilarang dan tergolong sebagai dosa. Rasulullah SAW telah menegaskan dalam haditsnya bahwa berbohong merupakan salah satu tanda orang munafik. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
"Tanda orang munafik ada tiga: berkata bohong, ingkar janji, mengkhianati amanah." (HR Bukhari & Muslim)
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT juga telah memperingatkan tentang akibat buruk bagi para pendusta. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut terdapat dalam Surat Az-Zumar ayat 60:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُم مُّسْوَدَّةٌ ۚ أَلَيْسَ فِى جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ
"Wa yaumal-qiyāmati tarallażīna każabū 'alallāhi wujūhuhum muswaddah, a laisa fī jahannama maṡwal lil-mutakabbirīn"
Artinya: "Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?"
Ayat tersebut dengan jelas menggambarkan kondisi mengerikan yang akan dialami oleh para pendusta di hari kiamat. Wajah mereka akan menghitam sebagai tanda kehinaan dan Allah SWT telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat bagi mereka. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang perbuatan berbohong.
Selain itu, dalam Surat Al-Ghafir ayat 28, Allah SWT juga memperingatkan tentang orang yang berbohong:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
"Innallāha lā yahdī man huwa musrifun każżāb"
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta."
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa Allah SWT tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang suka berbohong. Ini adalah peringatan keras bagi setiap muslim untuk selalu menjauhi perbuatan berbohong dalam kondisi apapun, terlebih lagi ketika sedang menjalankan ibadah puasa yang tujuannya adalah untuk meningkatkan ketakwaan.
Advertisement
Pendapat Ulama tentang Berbohong dan Puasa
Para ulama memiliki pendapat yang beragam mengenai status berbohong dalam kaitannya dengan puasa. Mayoritas ulama seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa berbohong tidak membatalkan puasa secara langsung. Namun, mereka sepakat bahwa perbuatan tersebut dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala puasa seseorang.
M. Quraish Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia, dalam bukunya "M. Quraish Shihab Menjawab" menyatakan bahwa berbohong tidak sampai membatalkan puasa seseorang, tetapi perbuatan tersebut dapat mengurangi kualitas dan pahala puasa. Beliau menganjurkan agar seorang muslim yang sedang berpuasa mencari kata-kata yang mengandung dua makna jika terpaksa harus menghindari kebohongan, daripada berbohong secara langsung.
Di sisi lain, terdapat pendapat dari Abdurrahman Al-Auza'i, salah satu ulama besar dari Syam (Syria) pada masanya, yang menyatakan bahwa berbohong, menggunjing, mencaci maki, dan mengadu domba dapat membatalkan puasa. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
"Ada lima hal yang membatalkan puasa, yaitu menggunjing, mengadu domba, berbohong, melihat atau berkhayal disertai libido, dan sumpah palsu."
Namun perlu dipahami bahwa dalam konteks hadits tersebut, "batal" ditafsirkan oleh banyak ulama sebagai batalnya pahala puasa, bukan batalnya status puasa itu sendiri secara fikih. Ini merupakan peringatan keras tentang larangan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut selama berpuasa.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin" juga menjelaskan bahwa puasa memiliki tiga tingkatan: puasa orang awam (menahan makan, minum, dan hubungan intim), puasa orang khusus (menahan anggota tubuh dari maksiat), dan puasa orang yang sangat khusus (menahan hati dari selain Allah). Berbohong termasuk dalam kategori yang harus dijauhi oleh orang yang berpuasa pada tingkatan kedua, yaitu menahan anggota tubuh dari maksiat.
Dampak Berbohong terhadap Kualitas Puasa
Meskipun berbohong tidak membatalkan puasa secara langsung menurut mayoritas ulama, namun perbuatan tersebut memiliki dampak signifikan terhadap kualitas puasa seseorang. Puasa dalam Islam tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga merupakan latihan spiritual untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kualitas ketakwaan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
"Man lam yada' qaulaz-zūri wal 'amala bihi, falaisa lillāhi hājatun fī an yada'a ṭa'āmahu wa syarābahu"
Artinya: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya)." (HR. Bukhari)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa berbohong dapat mengurangi makna spiritual dari puasa. Allah SWT tidak membutuhkan puasa yang hanya berfokus pada menahan makan dan minum, tetapi mengabaikan aspek pengendalian lisan dan perbuatan, termasuk berbohong.
Dalam konteks ini, berbohong dapat diibaratkan sebagai virus yang menggerogoti kualitas puasa seseorang. Meskipun puasa tetap sah secara fikih, namun nilai spiritual dan pahala puasa tersebut dapat berkurang bahkan hilang akibat berbohong. Ini sesuai dengan tujuan utama puasa yang disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Yā ayyuhallażīna āmanū kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna min qablikum la'allakum tattaqūn"
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah mencapai ketakwaan. Berbohong jelas bertentangan dengan sifat orang yang bertakwa, sehingga dapat menjauhkan seseorang dari tujuan utama puasa tersebut.
Advertisement
Cara Menjaga Lisan selama Berpuasa
Mengingat pentingnya menjaga lisan dari berbohong selama berpuasa, berikut adalah beberapa cara praktis untuk menghindari berbohong dan menjaga kualitas puasa:
Meningkatkan Kesadaran akan Pengawasan Allah SWT
Kesadaran bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap perkataan dan perbuatan kita dapat membantu mengendalikan lisan dari berbohong. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Qaf ayat 18:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
"Mā yalfiẓu min qaulin illā ladaihi raqībun 'atīd"
Artinya: "Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)."
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap kata yang kita ucapkan dicatat oleh malaikat. Kesadaran ini akan membantu kita lebih berhati-hati dalam bertutur kata.
Berpikir Sebelum Berbicara
Salah satu cara efektif untuk menghindari berbohong adalah dengan berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya berkata baik atau diam, sebagaimana dalam haditsnya:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Man kāna yu'minu billāhi wal-yaumil-ākhiri falyaqul khairan au liyaṣmut"
Artinya: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan mempraktikkan hadits ini, kita dapat terhindar dari berbohong dan menjaga kualitas puasa.
Menggunakan Kata-kata yang Jelas dan Tidak Ambigu
Menggunakan kata-kata yang jelas dan tidak ambigu dapat membantu menghindari situasi yang mungkin mengarah pada kebohongan. Ini sesuai dengan anjuran M. Quraish Shihab untuk mencari kata-kata yang mengandung dua makna jika terpaksa harus menghindari kebohongan.
Memperbanyak Dzikir dan Membaca Al-Qur'an
Memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur'an dapat membantu menjaga lisan dari berbohong. Aktivitas ini tidak hanya mengisi waktu dengan kegiatan positif tetapi juga membersihkan hati dan pikiran, sehingga menjauhkan dari keinginan untuk berbohong.
Menjaga Pergaulan dengan Orang-orang Jujur
Lingkungan pergaulan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bergaul dengan orang-orang jujur dapat membantu kita menjaga kejujuran, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 119:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa kūnū ma'aṣ-ṣādiqīn"
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar."
Ayat ini menegaskan pentingnya bergaul dengan orang-orang jujur untuk membantu kita menjaga kejujuran, termasuk selama berpuasa.