Liputan6.com, Jakarta Memahami konsep mahram yang tidak membatalkan wudhu merupakan pengetahuan penting bagi umat Muslim dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Dalam ajaran Islam, wudhu menjadi salah satu syarat sah pelaksanaan shalat dan ibadah lainnya, sehingga penting untuk mengetahui hal-hal yang dapat membatalkannya. Salah satu pembahasan yang sering menjadi pertanyaan adalah terkait mahram yang tidak membatalkan wudhu ketika disentuh.
Konsep mahram yang tidak membatalkan wudhu telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman bagi umat Muslim. Pemahaman yang tepat mengenai mahram yang tidak membatalkan wudhu akan membantu kita menjalankan ibadah dengan benar sesuai syariat. Dalam Islam, tidak semua sentuhan membatalkan wudhu, terutama jika menyentuh orang-orang yang termasuk dalam kategori mahram.
Advertisement
Para ulama telah menjelaskan secara rinci tentang siapa saja mahram yang tidak membatalkan wudhu berdasarkan dalil-dalil yang kuat. Pengetahuan ini sangat bermanfaat agar kita tidak ragu dalam beribadah dan tetap menjaga kesucian diri.
Berikut ini telah Liputan6.com rangkum informasi lengkap, mengenai siapa saja yang termasuk dalam kategori mahram dan bagaimana sentuhan dengan mereka tidak membatalkan wudhu kita, pada Selasa (11/3).
Aksi pencurian semakin nekat, kini pelaku menyasar jamaah masjid saat wudhu. Peristiwa terjadi di Masjid Agung Bangil, Kota pasuruan jelang Maghrib. Pelaku beraksi saat para jamaah ramai hendak wudhu.
Pengertian Wudhu dan Dasar Hukumnya dalam Islam
Wudhu merupakan salah satu bentuk bersuci dalam Islam yang menjadi syarat sah untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat. Secara bahasa, wudhu berarti bersih dan indah. Sedangkan secara istilah, wudhu adalah membasuh anggota tubuh tertentu dengan air suci dan menyucikan dengan tata cara yang telah ditentukan dalam syariat Islam.
Dasar hukum pelaksanaan wudhu dijelaskan dalam Al-Qur'an, tepatnya pada surah Al-Maidah ayat 6. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur."
Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan tata cara berwudhu dan juga menyinggung tentang hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, termasuk "menyentuh perempuan" (lāmastumun nisā'). Para ulama memiliki penafsiran berbeda mengenai makna sentuhan dalam ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hubungan intim, sementara sebagian lain menafsirkannya sebagai sentuhan biasa. Perbedaan penafsiran inilah yang kemudian melahirkan berbagai pendapat tentang siapa saja yang sentuhan dengannya tidak membatalkan wudhu.
Wudhu memiliki rukun atau fardhu yang harus dipenuhi agar sah. Rukun wudhu ada enam yaitu: niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki hingga mata kaki, dan tertib (berurutan). Selain rukun-rukun tersebut, terdapat pula sunnah-sunnah wudhu yang dianjurkan untuk dilakukan guna menyempurnakan ibadah wudhu.
Advertisement
Mahram yang Tidak Membatalkan Wudhu: Contoh-Contoh
Mahram dalam Islam adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang haram untuk dinikahi karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan pernikahan, atau hubungan persusuan. Kata mahram berasal dari bahasa Arab yang berarti "yang diharamkan" atau "yang dilarang". Konsep mahram sangat penting dalam Islam karena berkaitan dengan berbagai hukum, termasuk dalam hal pernikahan, hijab, dan juga sentuhan yang dapat membatalkan wudhu.
Dasar hukum mahram dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 23. Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔ ٢٣
Artinya: "Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menjelaskan secara rinci siapa saja yang termasuk mahram dan haram untuk dinikahi. Berdasarkan ayat tersebut, mahram dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama:
Mahram karena hubungan nasab (keturunan/kekerabatan):
- Ibu dan nenek (dari garis ibu maupun ayah)
- Anak perempuan dan cucu perempuan
- Saudara perempuan (kandung, seayah, atau seibu)
- Bibi dari pihak ayah ('ammah)
- Bibi dari pihak ibu (khalah)
- Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
- Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
Mahram karena hubungan pernikahan (mushaharah):
- Ibu mertua dan nenek mertua
- Anak tiri perempuan (jika telah mencampuri ibunya)
- Menantu perempuan
- Ibu tiri
Mahram karena hubungan persusuan (radha'ah):
- Ibu susuan
- Saudara perempuan sesusuan
Pemahaman tentang konsep mahram ini menjadi dasar untuk mengetahui siapa saja yang sentuhan dengannya tidak membatalkan wudhu dalam berbagai mazhab fiqih.
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Sentuhan yang Membatalkan Wudhu
Para ulama dari berbagai mazhab fiqih memiliki pandangan yang berbeda mengenai sentuhan yang dapat membatalkan wudhu. Perbedaan ini berakar pada penafsiran yang berbeda terhadap ayat Al-Qur'an, khususnya frasa "lāmastumun nisā'" dalam surah Al-Maidah ayat 6.
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu. Imam Syafi'i menafsirkan "lāmastumun nisā'" sebagai sentuhan biasa, bukan hanya hubungan intim. Menurut mazhab ini, jika seorang laki-laki menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, atau sebaliknya, dengan sentuhan kulit langsung tanpa penghalang, maka wudhunya batal. Pengecualian diberikan untuk sentuhan dengan mahram sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Berbeda dengan Mazhab Syafi'i, Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang lebih longgar. Menurut Mazhab Hanafi, sentuhan biasa antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu. Mereka menafsirkan "lāmastumun nisā'" sebagai kinayah (kiasan) untuk hubungan intim, bukan sentuhan biasa. Jadi, menurut mazhab ini, hanya hubungan intim yang membatalkan wudhu, sedangkan sentuhan biasa, bahkan dengan yang bukan mahram, tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai syahwat.
Mazhab Maliki memiliki pendapat yang hampir serupa dengan Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Maliki, sentuhan biasa tidak membatalkan wudhu, kecuali jika disertai dengan perasaan nikmat atau syahwat. Imam Malik menafsirkan "lāmastumun nisā'" sebagai sentuhan yang disertai syahwat. Jadi, jika seseorang menyentuh lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, wudhunya tetap sah. Namun, jika sentuhan tersebut menimbulkan syahwat, maka wudhunya batal.
Mazhab Hanbali mengambil posisi tengah antara pendapat yang ketat dan longgar. Menurut Mazhab Hanbali, sentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu jika disertai syahwat. Namun, berbeda dengan Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali menetapkan bahwa yang membatalkan wudhu adalah niat dan perasaan ketika menyentuh, bukan akibat dari sentuhan tersebut. Jadi, jika seseorang menyentuh lawan jenis dengan niat syahwat, wudhunya batal meskipun tidak timbul perasaan nikmat setelahnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, para ulama sepakat bahwa sentuhan dengan mahram tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi fokus utama artikel ini. Dalam praktiknya, umat Muslim di Indonesia lebih banyak mengikuti Mazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa sentuhan dengan non-mahram membatalkan wudhu, tetapi sentuhan dengan mahram tidak membatalkan wudhu.
Advertisement