Liputan6.com, Jakarta - Nu’aiman adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kisah unik. Ia dikenal sebagai pribadi yang humoris, tetapi juga memiliki kebiasaan buruk: kecanduan alkohol. Kendati demikian, Rasulullah SAW tetap mencintainya dan bahkan membelanya ketika Nu'aiman dihujat oleh sahabat lain.
Ulama kharismatik KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha mengisahkan bahwa Rasulullah SAW menegur sahabat-sahabatnya yang mencela Nu’aiman. "Jangan suka menghujat, dia cinta Allah dan Rasul-Nya," ujar Nabi SAW.
Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan seseorang tidak serta-merta menghapus kecintaan dan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Advertisement
Si pemabuk Nu’aiman memang kerap melakukan tindakan yang mengundang tawa. Nabi SAW sendiri sangat menyukainya. Gus Baha menyebutkan bahwa kisah tentang Nu’aiman telah dikonfirmasi dalam kitab Ihya Ulumuddin dan dibenarkan oleh banyak perawi hadis.
Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube @MuhammadNurBinYusuf, Gus Baha menceritakan bagaimana Nu’aiman kerap membuat Rasulullah SAW tertawa dengan tingkahnya yang jenaka. Rasulullah SAW bahkan bersabda, "Aku itu belum pernah dibuat gembira orang seperti Nu’aiman membuatku gembira."
Meskipun memiliki kebiasaan buruk, Nu’aiman tetap menerima hukuman atas tindakannya. Rasulullah SAW pernah menghukumnya dengan cambukan sebanyak 40 hingga 60 kali. Hukuman ini tidak membuat Nabi SAW membencinya, justru tetap menganggapnya sebagai sahabat yang setia.
Salah satu kisah unik Nu’aiman adalah ketika ia memesan makanan untuk Rasulullah SAW dari seorang pedagang. Setelah makanan itu diantar dan mereka selesai makan bersama, Nu’aiman justru meminta Nabi SAW untuk membayarnya. Rasulullah SAW pun tertawa dan membayar makanan itu tanpa marah sedikit pun.
Simak Video Pilihan Ini:
Kejari Ungkap Peran 3 Tersangka Korupsi Sampah Purbalingga
Mencintai Allah dan Rasul ala Nu'aiman
Menurut Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, kejadian serupa terjadi beberapa kali. Nu’aiman sering melakukan hal-hal yang membuat orang-orang di sekitarnya tertawa, termasuk Rasulullah SAW. Keluguan dan kelucuannya justru menjadi daya tarik tersendiri di mata Nabi SAW.
Hadis tentang Nu’aiman ini, menurut Gus Baha, adalah berita gembira bagi umat Islam. Ia menegaskan bahwa seseorang tidak harus terbebas dari dosa untuk bisa mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kitab Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak selalu berbanding lurus dengan kesempurnaan akhlak. Nu’aiman menjadi bukti bahwa seseorang tetap bisa memiliki hubungan yang dekat dengan Allah dan Rasul-Nya meskipun memiliki kekurangan.
Gus Baha menyoroti bahwa banyak orang yang berlebihan dalam beragama sehingga mudah menghakimi orang lain. Padahal, ada banyak orang fasik yang tetap memiliki rasa cinta yang tulus kepada agamanya.
Nu’aiman, meskipun sering mabuk, tidak pernah menjauh dari Nabi SAW. Bahkan, ketika ia mabuk, ia lebih memilih untuk tetap berada di dekat Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Dalam tradisi pesantren, hal ini sering disebut sebagai mahabbah atau kecintaan. Orang yang memiliki mahabbah akan tetap mendekat kepada sosok yang dihormatinya, meskipun ia sendiri memiliki banyak kekurangan.
Gus Baha mencontohkan fenomena di Indonesia, di mana banyak orang yang meskipun masih suka bermaksiat, tetap dekat dengan para ulama dan kiai. Hal ini menjadi harapan bahwa mereka suatu saat akan bertaubat.
Advertisement
Pelajaran dari Kisah Nu'aiman
"Orang Indonesia itu kemungkinan nak tobat itu kecil karena pas nakal tetap dekat dengan para kiai," kata Gus Baha sambil berseloroh.
Ia menjelaskan bahwa meskipun seseorang memiliki kebiasaan buruk, selama ia masih mendekat kepada orang-orang saleh dan lingkungan yang baik, maka harapan untuk berubah tetap ada.
Sebagaimana Nu’aiman yang tidak pernah menjauh dari Nabi SAW, banyak orang fasik di zaman sekarang yang masih memiliki hubungan baik dengan para ulama.
Bahkan, lanjut Gus Baha, ada orang yang setelah berbuat dosa tetap menyumbang ke masjid atau mendukung kegiatan agama. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam dirinya masih ada nilai-nilai kebaikan yang bisa berkembang.
Kisah Nu’aiman menjadi pelajaran penting bahwa keimanan seseorang tidak selalu terlihat dari tampilan luarnya. Bisa jadi, orang yang tampak buruk di mata manusia justru memiliki kedekatan khusus dengan Allah dan Rasul-Nya.
Gus Baha menegaskan bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmat. Sebagaimana Rasulullah SAW tetap menerima dan mencintai Nu’aiman, kita juga harus belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain.
Hidayah bisa datang kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang sering berbuat dosa. Selama seseorang masih memiliki cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka pintu taubat selalu terbuka.
Nu’aiman bukan hanya sahabat Nabi SAW yang humoris, tetapi juga bukti nyata bahwa kasih sayang Allah dan Rasul-Nya tidak terbatas hanya kepada mereka yang sempurna dalam ibadah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul