Liputan6.com, Jakarta Peristiwa turunnya wahyu pertama Nabi Muhammad SAW merupakan momen bersejarah yang menandai awal mula turunnya Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat Islam. Dalam sejarah Islam, wahyu pertama Nabi Muhammad SAW ini tidak hanya menjadi tonggak penting bagi umat Muslim, tetapi juga titik balik peradaban dunia dengan hadirnya risalah yang membawa pencerahan bagi kemanusiaan. Peristiwa sakral ini terjadi di Gua Hira, ketika Malaikat Jibril menyampaikan firman Allah SWT kepada Rasulullah.
Advertisement
Memahami konteks dan makna dari wahyu pertama Nabi Muhammad SAW menjadi sangat penting bagi setiap Muslim untuk mendalami esensi ajaran Islam. Wahyu ini berisi ayat-ayat yang mengandung perintah untuk membaca dan menuntut ilmu, menunjukkan betapa Islam sangat menghargai pengetahuan dan pendidikan sejak awal kemunculannya. Surah Al-Alaq ayat 1-5 yang menjadi wahyu pertama Nabi Muhammad SAW ini turun pada bulan Ramadan tahun 610 Masehi, mengukuhkan kemuliaan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur'an.
Proses turunnya wahyu pertama Nabi Muhammad SAW diiringi dengan berbagai tanda kenabian yang telah muncul sebelumnya, seperti mimpi-mimpi yang benar (ru'yah shadiqah) dan kecenderungan beliau untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi dengan bertahannuts di Gua Hira. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai malam Nuzulul Qur'an, yang setiap tahunnya diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia untuk mengenang momen bersejarah ketika Allah SWT memulai komunikasi-Nya dengan Nabi terakhir, Muhammad SAW, melalui wahyu Al-Qur'an. Berikut informasi lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Selasa (18/3).
Baqi merupakan pemakaman utama yang terletak di Madinah, Arab Saudi. Menjadi pemakaman orang orang dekat Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Kenabian Sebelum Turunnya Wahyu
Sebelum menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad SAW telah mengalami berbagai tanda yang menunjukkan bahwa beliau akan dipilih sebagai utusan Allah SWT. Berdasarkan riwayat dari Aisyah RA, salah satu tanda awal kenabian beliau adalah sering mengalami mimpi-mimpi yang benar, atau dikenal dengan istilah ru'yah shadiqah. Mimpi-mimpi tersebut selalu terbukti menjadi kenyataan, menunjukkan adanya komunikasi spiritual yang mulai terjalin antara beliau dengan alam gaib.
Dalam mimpi-mimpinya tersebut, Nabi Muhammad SAW sering melihat cahaya terang yang menyerupai sinar fajar. Cahaya ini merupakan simbol dari kebenaran yang akan hadir melalui risalah kenabian beliau, menerangi kegelapan jahiliyah yang menyelimuti masyarakat Arab saat itu. Pengalaman spiritual ini semakin mendorong beliau untuk mencari ketenangan dan keheningan dengan cara mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan Makkah.
Bertahannuts atau menyendiri untuk beribadah dan merenung di Gua Hira menjadi kebiasaan yang sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Gua ini terletak di Jabal Nur (Gunung Cahaya), sekitar 4 kilometer dari Masjidil Haram di jalur menuju Thaif. Di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian inilah, beliau menghabiskan banyak waktu untuk merenungkan kondisi masyarakat Makkah yang dipenuhi dengan praktik-praktik menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Kegelisahan Nabi Muhammad SAW terhadap kondisi sosial Makkah saat itu mendorong beliau untuk semakin intensif dalam bertahannuts, mencari jawaban dan solusi atas permasalahan yang ada. Meskipun belum mengetahui cara untuk membawa perubahan, pengalaman spiritual yang dialami selama menyendiri di Gua Hira perlahan membentuk dasar awal kenabiannya, menyiapkan beliau secara mental dan spiritual untuk menerima tanggung jawab besar sebagai pembawa risalah Allah SWT.
Advertisement
Kisah Turunnya Wahyu Pertama di Gua Hira
Malam turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa yang penuh dengan hikmah dan makna mendalam. Pada malam yang penuh berkah di bulan Ramadan tahun 610 M, ketika beliau sedang bertahannuts seperti biasa di Gua Hira, terjadilah pertemuan bersejarah dengan Malaikat Jibril. Dalam keheningan gua, tiba-tiba cahaya kebenaran Ilahi menyelimuti Nabi Muhammad SAW, menandai dimulainya era kenabian beliau.
Malaikat Jibril mendekati Nabi Muhammad SAW dan dengan suara yang tegas memerintahkan, "Bacalah!" Mendengar perintah tersebut, Nabi Muhammad SAW terkejut dan menjawab dengan jujur, "Aku tidak bisa membaca!" Jawaban ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an tentang sifat Nabi terakhir.
Tanpa disangka, Malaikat Jibril kemudian merengkuh beliau dengan erat, begitu kuat hingga tubuh Nabi Muhammad SAW terasa lemah. Setelah melepaskannya, Jibril kembali memerintahkan untuk kedua kalinya, "Bacalah!" Namun, dengan penuh kebingungan, Nabi kembali menjawab, "Aku tidak bisa membaca!" Peristiwa ini terjadi hingga tiga kali berulang, menunjukkan betapa pentingnya pesan yang akan disampaikan.
Pada akhirnya, setelah pelukan yang ketiga, Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dari Allah SWT dengan membacakan lima ayat pertama dari Surah Al-Alaq:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَق
Iqra' bismi rabbikal-lazi khalaq(a).
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!"
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَق
Khalaqal-insana min 'alaq(in).
"Dia menciptakan manusia dari segumpal darah."
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ
Iqra' wa rabbukal-akram(u).
"Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia,"
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ
Alladzii 'allama bil-qalam(i).
"Yang mengajar (manusia) dengan pena."
عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
'Allamal-insaana ma lam ya'lam.
"Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (Surah Al-Alaq ayat 1-5)
Reaksi Nabi Muhammad SAW Setelah Menerima Wahyu
Setelah mengalami peristiwa yang luar biasa di Gua Hira, Nabi Muhammad SAW kembali ke rumahnya dengan kondisi yang sangat terguncang. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa dahsyat pengalaman spiritual yang baru saja dialaminya. Ketika meninggalkan gua, beliau mendengar suara yang memanggilnya dari segala penjuru. Saat menoleh ke segala arah, beliau melihat sosok Malaikat Jibril dalam wujud aslinya yang luar biasa, memenuhi cakrawala langit. Pemandangan ini semakin menambah keguncangan dalam diri Nabi Muhammad SAW.
Setibanya di rumah, dengan kondisi fisik dan mental yang masih terguncang, Nabi Muhammad SAW segera menemui istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Dengan suara lemah beliau berkata, "Selimuti aku! Selimuti aku!" Khadijah, sebagai istri yang penuh pengertian, segera menyelimuti beliau dan memberikan ketenangan hingga tubuhnya yang gemetar mulai berangsur tenang. Sikap Khadijah ini menunjukkan dukungan dan perlindungan yang diberikannya kepada Nabi Muhammad SAW pada saat-saat kritis.
Dalam keadaan yang masih cemas, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Khadijah, "Apa yang terjadi padaku?" Beliau kemudian menceritakan seluruh kejadian aneh yang dialaminya di Gua Hira, mulai dari kedatangan Malaikat Jibril hingga pewahyuan ayat-ayat pertama Surah Al-Alaq. Setelah menceritakan semuanya, beliau menambahkan dengan penuh kekhawatiran, "Aku sangat khawatir terhadap diriku!" Ungkapan ini menunjukkan kerendahan hati dan kejujuran Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi pengalaman spiritual yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Mendengar kekhawatiran suaminya, Khadijah dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan menenangkan Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata yang penuh dukungan: "Tidak mungkin! Demi Allah, Dia tidak akan membiarkanmu terhina! Engkau selalu menjaga silaturahmi, membantu yang membutuhkan, menjamu tamu, dan mendukung perjuangan kebenaran." Kata-kata Khadijah ini tidak hanya memberikan ketenangan bagi Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menegaskan kemuliaan akhlak dan karakter beliau yang selama ini dikenal oleh masyarakat Makkah.
Advertisement
Konfirmasi Kenabian dari Waraqah bin Naufal
Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW, Khadijah membawa beliau menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah seorang penganut agama Nasrani yang dikenal memiliki pengetahuan luas tentang kitab-kitab suci terdahulu dan ajaran para nabi. Sebagai seorang yang arif dan bijaksana, Waraqah sering menjadi tempat bertanya bagi masyarakat Makkah tentang masalah-masalah keagamaan dan spiritual.
Sesampainya di rumah Waraqah, Khadijah mempersilakan Nabi Muhammad SAW untuk menceritakan pengalamannya di Gua Hira. Dengan seksama, Waraqah mendengarkan kisah pertemuan beliau dengan Malaikat Jibril dan pewahyuan ayat-ayat pertama Surah Al-Alaq. Setelah mendengar kisah tersebut, Waraqah dengan penuh keyakinan berkata, "Ini adalah wahyu yang sama seperti yang diturunkan kepada Nabi Musa." Pernyataan ini mengonfirmasi bahwa apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW memang merupakan pengalaman kenabian yang sejati, bukan halusinasi atau gangguan jin sebagaimana yang mungkin dikhawatirkan oleh beliau.
Waraqah kemudian menambahkan pernyataan yang mengejutkan, "Andai saja aku masih muda ketika tiba saatnya nanti engkau diusir oleh kaummu!" Mendengar hal ini, Nabi Muhammad SAW terkejut dan bertanya, "Benarkah mereka akan mengusirku?" Waraqah menjawab dengan tegas, "Benar. Setiap orang yang membawa risalah seperti yang engkau bawa pasti akan dimusuhi. Jika aku masih hidup saat itu, aku pasti akan mendukungmu dengan seluruh kekuatanku." Pernyataan Waraqah ini merupakan prediksi tentang tantangan dan perlawanan yang akan dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Islam.
Konfirmasi dari Waraqah bin Naufal ini menjadi penguat bagi Nabi Muhammad SAW bahwa beliau memang telah dipilih oleh Allah SWT sebagai nabi dan rasul terakhir. Meskipun Waraqah memberikan kabar tentang tantangan berat yang akan dihadapi, tetapi beliau juga memberikan keyakinan bahwa apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW merupakan bagian dari rangkaian kenabian yang telah ada sejak Nabi Musa. Tidak lama setelah pertemuan ini, Waraqah bin Naufal meninggal dunia, sebagaimana yang telah diprediksinya bahwa ia tidak akan hidup cukup lama untuk menyaksikan perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Makna dan Hikmah Wahyu Pertama
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mengandung makna dan hikmah yang sangat mendalam. Dimulai dengan kata "Iqra'" yang berarti "Bacalah!", perintah ini mengisyaratkan pentingnya membaca, belajar, dan menuntut ilmu dalam ajaran Islam. Menariknya, perintah ini diberikan kepada seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), menunjukkan bahwa konsep "membaca" dalam Islam tidak hanya terbatas pada membaca teks tertulis, tetapi juga mencakup membaca tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan memahami kebenaran Ilahi.
Frasa "bismi rabbika" (dengan nama Tuhanmu) yang mengikuti perintah membaca menunjukkan bahwa setiap aktivitas ilmiah dan pencarian pengetahuan dalam Islam harus didasarkan pada kesadaran akan keberadaan Allah SWT sebagai sumber segala ilmu. Hal ini menegaskan prinsip tauhid sebagai landasan epistemologi Islam, di mana ilmu pengetahuan tidak terpisah dari nilai-nilai ketuhanan. Selanjutnya, penyebutan sifat Allah sebagai "yang menciptakan" (alladzii khalaq) menekankan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ayat kedua, "Dia menciptakan manusia dari segumpal darah", mengingatkan manusia akan asal usulnya yang sederhana, mengajarkan kerendahan hati dalam pencarian ilmu. Pesan ini sangat relevan untuk membendung potensi kesombongan yang mungkin muncul seiring dengan perolehan ilmu pengetahuan. Sementara ayat ketiga, "Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia", kembali menekankan pentingnya membaca dan belajar, kali ini dikaitkan dengan sifat Allah yang Mahamulia (al-Akram), mengisyaratkan bahwa kemuliaan sejati hanya dapat diperoleh melalui pendekatan kepada Allah melalui ilmu dan amal saleh.
Ayat keempat dan kelima, "Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya", menunjukkan bahwa Allah adalah sumber utama ilmu pengetahuan. Penyebutan "pena" (al-qalam) sebagai media pengajaran mengisyaratkan pentingnya mencatat dan mendokumentasikan ilmu dalam Islam, sementara pernyataan bahwa Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya menegaskan bahwa ilmu adalah anugerah dari Allah, bukan semata-mata hasil usaha manusia. Hikmah ini mengajarkan sikap tawadhu' (rendah hati) dalam pencarian ilmu dan rasa syukur atas ilmu yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan momen bersejarah yang memiliki dampak mendalam tidak hanya bagi perkembangan Islam, tetapi juga bagi peradaban manusia secara keseluruhan. Lima ayat pertama Surah Al-Alaq yang diwahyukan di Gua Hira mengandung pesan-pesan universal tentang pentingnya membaca, belajar, dan menuntut ilmu dengan dilandasi kesadaran akan keberadaan Allah SWT sebagai Pencipta dan sumber segala ilmu pengetahuan.
Advertisement