Sukses

Wakil Ketua DPRD Jateng: Penerapan Pancasila Cegah Konflik Sosial Bangsa

Dengan Pancasila, keberagaman tidak dipandang sebagai sebuah kendala atau masalah, tetapi menjadi potensi untuk bisa saling menolong ataupun saling bertukar kelebihan.

Liputan6.com, Semarang - Fenomena akhir-akhir ini seperti maraknya isu hoaks, kegaduhan masyarakat akan kebijakan pemerintah, kelangkaan beberapa bahan konsumsi, dan persoalan lainnya dikhawatirkan memicu perpecahan bangsa jika tak ditangani dengan tepat.

Maka kewaspadaan dini menjadi kunci untuk mencegah terjadinya konflik sosial. Dengan peran aktif masyarakat harus selalu tumbuh supaya dapat menetralisir potensi konflik agar tidak muncul dan berkembang menjadi besar.

Falsafah atau filsafat dalam dasar negara Pancasila, diyakini bisa menjadi solusi dalam menghadapi persoalan bangsa Indonesia. Kini, yang dibutuhkan adalah semakin membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPRD Jateng, Heri Pudyatmoko di acara “Peningkatakan Kapasitas Masyarakat Sipil dalam Penyelesaian Konflik Sosial” yang diselenggarakan Badan Kesatauan Kebangsaan Politik (Bankesbangpol) di Temanggung, belum lama ini. Turut menjadi pembicara lain dari anggota DPRD Jateng yakni KH Ahmad Fadlun, Isnaeni, dan Muhammad Ngainirichardl.

Menurutnya, dengan berpegang pada falsafah atau filsafat Pancasila, diharapkan akan mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan dan keterpurukan, khususnya akibat pandemi Covid-19. Apalagi dalam dasar negara Indonesia, sudah diatur tentang pandangan hidup dalam kegiatan praktis. Seperti tentang ketuhanan, persatuan, bernegara, dan tentang keadilan.

Dengan pandangan hidup yang berdasar lima pasal dalam Pancasila, diyakininya akan memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul belakangan ini.

“Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula, saya yakin bangsa Indonesia akan dapat membangun dirinya meski saat ini sedang dilanda banyak persoalan, seperti pandemi, persoalan identitas kebangsaan, kerukunan antarwarga, ekonomi, sosial, dan lainnya,” katanya.

Heri Pudyatmoko mengatakan, Sila Ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia” misalnya, bisa menjadi solusi terbaik bagi bangsa Indonesia yang sangat beragam. Dengan Pancasila, keberagaman tidak dipandang sebagai sebuah kendala atau masalah, tetapi menjadi potensi untuk bisa saling menolong ataupun saling bertukar kelebihan.

“Nilai ini menjadi lebih relevan kini karena saya melihat ada kecenderungan orang memaksakan kehendak, memaksakan nilai kepada golongan yang berbeda nilai keyakinannya. Baru-baru ini kita geger soal wayang, soal kebijakan JHT, soal toa masjid, soal aturan pemerintah, dan persoalan lain. Dengan memahami Pancasila, seharusnya itu tak peru terjadi,” tuturnya.

 

 

2 dari 2 halaman

Nilai dari Sila Lainnya

Sementara untuk pemerintahan, dirinya berharap agar prinsip “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” harus dipegang teguh dalam setiap pengambilan kebijakan. Hal itu agar tak ada perpecahan, atau rasa tak percaya di masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Apalagi dalam situasi seperti saat ini sangat rentan terjadi perpecahan bangsa.

"Kami sangat sayangkan ketika ada beberapa pejabat pemerintah yang membuat kebijakan malah menciptakan kegaduhan di masyarakat. Saya yakin bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Syaratnya semua unsur bangsa tetap berpegang teguh pada falsafah Pancasila. Negara juga harus adil, masyarakatnya juga harus menjaga persatuan dan kesatuan. Jangan membeda-bedakan suku, ras, golongan, dan agama, apalagi derajat sosial,” tegasnya.

Heri Pudyatmoko juga memaparkan relevansi sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. “Setiap manusia pasti ingin dipahami dan dihargai. Jika tatanan sosial sudah menghargai dan memahami perbedaan individu, dengan mandiri akan tercipta tenggang rasa antarwarga. Hal ini mencegah ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan. Ini modal utama untuk membangun masyarakat beradab,” katanya.

“Kita sering kali memandang Pancasila sebatas ide atau gagasan. Nilai-nilai Pancasila tidak pernah diimplementasikan menjadi bagian dari gaya hidup,” katanya.

Kondisi ini terjadi antara lain karena masyarakat lebih mudah menerima nilai-nilai dari luar yang bukan bagian dari nilai bangsa ini. Apalagi, di tengah pesatnya teknologi informasi dan komunikasi yang membuat nilai dari luar dengan mudah masuk ke dalam negeri.

Padahal Pancasila ibarat sebagai kompas dan Indonesia sebagai bahteranya. "Perkembangan teknologi jangan membuat kita makin mudah diadu domba, fasisme, dan akhirnya terpecah belah akibat informasi yang kurang tepat. Di era modern ini, seharusnya kita lebih menguatkan ideologi kita, untuk membentengi diri dari perpecahan dan gempuran budaya luar yang tak sejalan dengan visi kebangsaan kita," katanya.

“Dengan kata lain, jika bangsa ini melupakan Pancasila, melupakan nilai persaudaraan, gotong royong, dan nilai lain di Pancasila, kemudian lebih peduli pada kepentingan diri sendiri atau egoism, pragmatism, dan hedonism, akan sulit bagi bangsa ini untuk bisa mengatasi persoalan yang dihadapi,” tambahnya.