Liputan6.com, Solo - Solo, Jawa Tengah (Jateng) terkenal dengan sajian kuliner tengkleng. Wisatawan akan dengan mudah menemukan berbagai olahan tengkleng khas yang nikmat di Kota Solo.
Namun, siapa sangka di balik kelezatan kuliner tengkleng Solo ini mengandung cerita yang menyedihkan. Dikutip dari berbagai sumber, sejarah tengkleng dimulai saat masa penjajahan Jepang.
Rakyat Solo Jateng hidup sengsara pada masa penjajahan Jepang. Bahan makanan kian hari kian menipis, membuat rakyat terpaksa mengolah apapun untuk memenuhi kebutuhan perut.
Advertisement
Rakyat Solo harus memutar otak untuk tetap bertahan hidup, salah satunya dengan mengolah limbah pangan. Pada saat itu para orang kaya umumnya hanya mengonsumsi daging saja, sehingga jeroan dan tulang kambing atau sapi dibuang menjadi limbah pangan.
Baca Juga
Berbekal jeroan dan tulang-belulang sapi dan kambing, rakyat Solo mengolahnya untuk mengisi perut. Akhirnya jeroan dan tulang-belulang terserbut dapat disajikan dengan aneka bumbu yang cukup rumit.
Penamaan tengkleng, kuliner khas Solo juga tak kalah menyimpan cerita sedih. Nama tengkleng diambil dari bunyi atau suara yang dihasilkan saat sajian ini dituang ke piring orang miskin zaman dahulu.
Sebab piring orang dengan ekonomi ke bawah terbuat dari gebreng (semacam seng), sehingga saat tulang itu ditaruh dipiring akan menimbulkan suara yang nyaring.
Biasanya tengkleng dinikmati dengan cara dibrakoti atau dikrikiti (bahasa Solo), artinya digigit bagian tulang sampai tak tersisa daging yang menempel. Hal itu dilakukan katena tulang yang dimasak masih memiliki daging, otot, lemak hingga tulang muda.
Setelah masa penjajahan berakhir dan perekonomian rakyat Solo berangsur membaik. Tengkleng berkembang menjadi kuliner Solo.
Bedanya para penjual tengkleng tak lagi menggunakan limbah pangan untuk menjadi bahan baku. Biasanya dagingnya akan diolah menjadi sate yang juga tak kalah lezat dari tengkleng.