Liputan6.com, Semarang - Raden Soetedja mungkin tak sepopuler maestro musik lainnya, seperti WR Soepratman atau Ismail Marzuki. Padahal sosok Raden Soetedja tak kalah hebat dengan dua maestro tersebut.
Salah satu lagu paling populer miliknya berjudul Di Tepi Sungai Serayu, selalu diputar di stasiun Purwokerto. Lagu-lagu legendaris lainnya seperti Kopral Jono, Juwita Malam, Tidurlah Intan, tidak asing di telinga pada 1950-an.
Dikutip dari berbagai sumber, Raden Soetedja menjadi salah satu pelopor musik modern di Indonesia di awal kemerdekaan. Bahkan musisi mentereng Bingung Slamet perneh berguru kepadanya.
Advertisement
Sayangnya, nama Raden Soetedja seakan hilang bersama dengan karya-karya saat gedung RRI pusat terbakar hebat. Raden Soetedja lahir pada 15 Oktober 1909 di Purwokerto.
Ayah Raden Soetedja, Purwodibroto adalah seorang asisten wedana di Baturaden, Kebumen. Ia kemudian diasuh oleh pakdenya, Soemandar yang tak memiliki anak laki-laki.
Baca Juga
Raden Soetedja atau Soetedja kecil diboyong ke Klampok, Banjarnegara. Di sana, ayah angkatnya, Soemandar menjadi penyedia karung untuk pabrik gula sekaligus pengusaha batik.
Bakat musik Soetedja sudah terlihat sejak kecil. Peralatan membatik di tempat usaha Soemandar, semisal wajan dan panci jadi sasaran Soetedja untuk melampiaskan hobinya.
Kebiasaan Soetedja yang berisik itu membuat Soemandar bingung. Namun, ia tak dengan frontal melarang anak angkatnya menghentikan kebiasaannya.
Soemandar sepertinya memahami bakat alamiah puteranya mengarah ke dunia musik. Akhirnya ia memutuskan membeli biola untuk anaknya saat sedang berdagang ke Eropa.
Soetedja menjadi satu di antara anak yang beruntung saat itu. Saat usia 10 tahun, Soetedja sudah akrab dengan biola Stradivarius buatan tangan Antonio Stradivari pada 1834.
Dengan alat musik yang cukup lengkap, Soetedja sudah tidak lagi mengganggu aktivitas perajin batik di pabrik ayahnya. Selepas lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung,
Soetedja memilih melanjutkan pendidikan di bidang musik. Konservatori Musik Roma jadi pilihan dia untuk melanjutkan pendidikan.
Di sana lah, kemampuan Soetedja di bidang musik kian matang. Beberapa lagu berbahasa Belanda karyanya populer di Eropa di antaranya Als d’Orchide Bluijen (Ketika Anggrek Berbunga), juga lagu Waarom Huil Je tot Nona Manies (Mengapa Kau Menangis).
Sepulang dari Roma, Soetedja pernah menjabat sebagai Direktur Musik di RRI Purwokerto pada awal kemerdekaan Indonesia, lalu pindah tugas ke RRI Jakarta. Dia juga diminta menjabat Direktur Korps Musik Angkatan Udara Republik Indonesia.
Soetedja dikenal sebagai pendiri Orkes Studio Jakarta, Orkes simfoni pertama di Indonesia. Soetedja juga pernah memimpin misi kesenian di era Presiden soekarno ke luar negeri.
Sebagian besar repertoir karya Soetedja yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta musnah, karena dilanda musibah kebakaran pada 1950-an. Beruntung, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lamers sempat meminjam beberapa partitur lagu-lagu gubahan Soetedja untuk direkam.
Berkat Jack Lesmana, sekitar 70 lagu terselamatkan. Sisanya, ratusan lagu lain binasa. Soetedja wafat pada usia yang ke 51 tahun pada 12 April 1960.