Liputan6.com, Solo - Canthang balung atau edan-edanan dikenal sebagai penari yang mengiringi pengantin. Canthang balung menggunakan busana basahan dengan muka yang dicat berwarna putih dan badan dilumuri warna kuning.
Keberadaan canthang balung dalam tradisi Keraton Surakarta tak hanya sekadar pengiring pengantin. Canthang balung memiliki akar sejarah yang cukup panjang.
Dikutip dari berbagai sumber, canthang balung dulunya merupakan pasukan khusus milik Keraton Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono II. Raja Kartasura tersebut ingin membangun kembali Keraton Surakarta di tempat baru setelag meletusnya geger pecinan 1740.
Advertisement
Baca Juga
Para penasihat raja kemudian berunding untuk menentukan lokasi baru Keraton Surakarta. Mereka sepakat bahwa wilayah Kedung Lumbu di Desa Sala menjadi lokasi yang ideal untuk membangun Keraton Baru.
Kedung Lumbu merupakan daerah rawa yang banyak ditumbuhi tanaman talas. Bukan hanya itu, wilayah Kedung Lumbu ini dipercaya sebagai pusat lelembut di wilayah Solo.
Konon para lelembut atau bangsan jin ini dipimpin oleh Uling Putih atau Nyi Blorong. Kondisi tanah yang jelek dan keberadaan para lelembut ini, membuat pembangunan keraton baru cukup sulit.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tekad Menyelesaikan Pembangunan Keraton Baru
Para penasihat raja tetap bertekad menyukseskan proyek pembangunan keraton baru itu. Namun waktu yang dibutuhkan untuk membuka hutan, meratakan tanah dan membangun keraton memakan waktu cukup lama.
Sedangkan gangguan kepada para pekerja sering terjadi, misalnya kejang-kejang. Peristiwa ini dipercaya merupakan pengaruh dari gangguan makhluk halus.
Kemudian para penasihat raja dianjurkan untuk mengadakan upacara guna mengatasinya. Sementara itu konon Nyi Roro Kidul telah meminta kepada Uling Putih dan Nyi Blorong yang mengepalai barisan lelembut agar berpindah tempat, daripada mendapat murka dari raja.
Tetapi belum sempat para lelembut ini pergi, Pakubuwono II telah mengirimkan pasukan. Pakubuwono II saat itu sudah mengirimkan pasukan berpakaian aneh dan menabuh beragam alat gamelan.
Tiba-tiba suasana di Kedung Lumbu tersebut menjadi gaduh, sehingga membuat para lelembut ketakutan dan lari. Pasukan Pakubuwono II ini dipimpin oleh canthang balung di barisan terdepan.
Pasukan canthang balung berpakaian aneh, memakai topi berkerucut tinggi, berkain merah, berkalung bunga melati, berikat pinggang sindur, jenggot terurai putih dan mengacungkan tombak Kyai Slamet. Sementara itu di belakangnya, berbaris pasukan panyutro.
Â
Advertisement
Bedak Kuning
Pasukan ini tubuhnya diberi bedak kuning, bercelana dan berbaju kuning pula dengan model terpotong, berikat kepala batik motif bango tolak, serta bersenjatakan panah dan keris. Di belakang pasukan panyutro, berbaris prajurit prawirotomo yang berkostum hitam-hitam mulai dari topi hingga celana.
Para lelembut tidak berani kepada ketiga regu pasukan itu karena mereka prajurit penghibur Nyi Roro Kidul. Kedudukan canthang balung dalam sejarah pun mengalami pasang surut.
Setelah berjasa mengusir para lelembut di Kedung Lumbu, pasukan ini kemudian ditempatkan di bagian abdi dalem niyaga yang tugasnya mengiringi watangan setiap Sabtu sore. Setelah watangan dihapuskan pada abad 19, pasukan ini menempati posisi baru sebagai jajar yang bertugas menari tarian Gajah Ngombe di depan bangsa Angun-angun pada waktu raja berjalan meninggalkan Siti Hinggil menuju kedaton.
Kemudian pada era Pakubuwono X tahun 1866, canthang balung lantas dikelompokkan dalam abdi dalem golongan kridhastama. Sebagai penggembira, pasukan ini mempunyai kebebasan untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka inginkan.
Melalui kedudukannya selayaknya badut, para canthang balung memang ditugasi untuk membuat sebuah lelucon. Namun pada lelucon ini mereka sering memasukan unsur-unsur kritik sosial.