Sukses

Hal-Hal yang Terungkap dari Bedah Buku Nicotine War, Salah Satunya Konspirasi Korporasi

Komunitas Kretek bekerja sama dengan DEMA Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar bedah buku Nicotine War

Liputan6.com, Jakarta - Komunitas Kretek bekerja sama dengan DEMA Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton di Teater Abdul Ghani, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Senin (7/11/2022).

Diskusi bedah buku bertajuk ‘Di Bawah Sri Mulyani: Petani Tembakau dan Cengkeh Mati!' ini menghadirkan narasumber Akhmad Zakky (Pengajar Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah), Aprillia Hariani (Peneliti Ekonomi), dan Abhisam Demosa (Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016 dan Penulis buku “Membunuh Indonesia”).

Menurut Abisham, Nicotine War merupakan hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat-obatan dan dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengendalian tembakau.

Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.

"Kampanye yang masif bahkan mengglobal menjadikan rokok sebagai musuh yang harus diperangi bersama. Kemudian, hadir patgulipat korporasi farmasi yang terdiri dari pemerintah federal (AS), para dokter, organisasi nirlaba dan WHO,” ujarnya.

Bagi Abhisam, isu antirokok selaras dengan kepentingan mereka untuk menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya. Sejak simplifikasi tarif mulai diberlakukan pada 2012, cukai rokok melonjak sampai hampir 90 persen dan sebagian besar di antaranya ditandatangani oleh Sri Mulyani.

“Ini berimbas terhadap jumlah pabrik kretek yang menurun dari 2013 hingga 2018," kata Abhisam.

Sementara peneliti ekonomi, Aprillia Hariani yang juga merupakan jurnalis dari Majalah Pajak mengungkapkan bahwa Indonesia menganut satu kurva (ekonomi) yang harus ditaati. Namun demikian, kurva tersebut harus menyesuaikan dengan kepentingan politik yang ada. Indonesia menganut satu kurva yang harus ditaati, tapi harus menyesuaikan dengan kepentingan politik.

"Salah satu pengusaha rokok yang ada di Kediri mengeluhkan tindakan pemerintah dalam melakukan pemberantasan rokok ilegal. Ia menilai tindakan pemerintah kurang efektif. Akhirnya, ia mengadu ke Komite Pengawas Pajak," ujar Aprillia.

Aprillia juga melanjutkan penjelasannya bahwa di tengah pandemi Covid-19, satu-satunya industri yang tumbuh secara ekonomi adalah Industri Hasil Tembakau (IHT). Pada 2021, kontribusi cukai hasil tembakau mencapai 173,8 Triliun. Artinya, mampu berkontribusi 10,11 persen kepada APBN.

"Kebijakan cukai seperti pisau bermata dua. Di satu sisi meningkatkan penerimaan negara namun di satu sisi juga pemerintah mengklaim industri ini juga menyerap anggaran kesehatan negara," ucap Aprillia.

Di sisi lain, Pengajar Sastra Inggris, Akhmad Zakky menegaskan pentingnya Nicotine War untuk dikaji kembali. Korporasi farmasi berusaha masuk melalui asosiasi profesi dan kemudian merangsek ke dunia mahasiswa kedokteran. Produk tembakau, pada akhirnya, tidak boleh tampil di ruang publik (media).

Zakky juga menyoroti tembakau telah menjadi arena pertarungan global yang sangat ketat. Padahal, jika ditarik ke belakang, orang American Native menggunakan tembakau sebagai tradisi. Sekarang, tembakau justru dimusuhi.

Ia berpendapat, istilah merokok itu membunuhmu adalah paradoks. Sebab, negara mendapatkan untung besar dari produk tembakau.

“Yang patut diketahui adalah dampak Nicotine War hadir di sekeliling kita. Kita hanya diberikan pengetahuan ini merusak atau itu tidak. Ini benar, itu salah. Padahal yang kita lihat adalah perang wacana," tuturnya.

Saksikan video pilihan berikut ini: