Liputan6.com, Yogyakarta - Gaduhnya pembahasan regulasi Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) di DKI Jakarta dan pengenaan sewa yang dilakukan Pemkot Surabaya terhadap penggelaran jaringan telekomunikasi, harusnya tak perlu terjadi. Menurut Henry D. Hutagaol, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, apabila merujuk kepada regulasi yang ada, sejatinya SJUT merupakan tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Sebagai bagian pembangunan infrastruktur layanan pubik. Sebab kewajiban tersebut tertuang dalam PP 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024. Dalam PP tersebut dijelaskan, Strategi Pembangunan Infrastruktur TIK dan Jalan sebagai infrastruktur ekonomi menjadi strategi yang ditargetkan menjadi prioritas pada tahun 2024.
Selain itu di dalam UU 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, jelas disebutkan bahwa pengadaan tanah dan pendanaan untuk pembangunan jalan umum berdasarkan asas kemanfaatan dan kesejahteraan dilakukan pemerintah pusat atau pemda. Sehingga jalur jaringan utilitas terpadu yang berada pada ruang manfaat jalan, diselenggarakan untuk pergelaran jaringan utilitas ditujukan untuk kepentingan umum. Namun Henry menyayangkan masih banyak pemda yang belum memahami peraturan tersebut.
Advertisement
Saat ini kata Henry, banyak pemda yang membuat penafsiran yang berbeda terhadap regulasi. Termasuk regulasi mengenai SJUT. Contohnya Kota Surabaya yang membuat Perda 5 tahun 2017, Mojokerto dengan Perda 16 tahun 2019, DKI Jakarta dengan Pergub 106 tahun 2019. Pemda menganggap SJUT dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam jangka pendek.
Baca Juga
Regulasi yang Tidak harmonis
“Saat ini regulasi di Indonesia banyak yang tidak harmonis. Khususnya regulasi yang ada di daerah. Banyak pemda yang beranggapan bahwa SJUT bukan merupakan tugas dan kewajibannya. Pemda beranggapan bahwa yang bertugas membangun SJUT adalah pihak BUMD atau swasta. Jika dibangun oleh BUMD atau swasta maka pengguna diwajibkan membayar dengan skema sewa,” kata Henry dalam diskusi yang dilakukan beberapa waktu yang lalu oleh Master of Arts in Digital Transformation and Competitiveness, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Beberapa waktu yang lalu Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta terus melanjutkan pembahasan pasal per pasal revisi Perda Nomor 8 Tahun 1999 tentang SJUT. Raperda SJUT Pemprov DKI merupakan salah satu contoh pembentukan regulasi daerah yang tidak memandang regulasi pusat, sehingga ketentuan dalam Raperda tersebut membuat tumpang tindih dengan regulasi diatasnya. Bahkan Bapemperda mengusulkan agar nantinya Pemprov DKI akan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam pembuatan SJUT. Gunanya agar dapat meringankan beban pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta.
Jika pemda ingin menetapkan tarif harga pemanfaatan infrastruktur pasif menurut Henry mereka harus mempertimbangkan efisiensi nasional, kondisi pasar, dampak positif keekonomian, dan kepentingan masyarakat, jangan Pemda merancang regulasi yang membuat adanya pungutan pungutan baru diluar yang diatur oleh Undang Undang dan akhirnya masyarakat yang akan terbebani.
Bahkan di dalam PM KOMINFO 5/2021, Penyelenggaraan Telekomunikasi sudah jelas disebutkan, tarif pemanfaatan infrastruktur pasif sesuai kesepakatan dengan mempertimbangkan biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan keuntungan yang wajar.
Menurut Henry, sebenarnya berdasarkan UUD 1945, Pasal 28F negara telah menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak masyarakat tersebut diperkuat dalam UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU 2 tahun 2022 tentang Jalan. Dalam UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi memberikan dasar hukum bagi jaringan telekomunikasi untuk memanfaatkan atau melintasi tanah negara, bangunan milik atau dikuasai pemerintah (Pasal 12).
Sedangkan di UU Nomor 2 tahun 2022 dijelaskan setiap jalan harus memiliki bagian-bagian jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk mobilitas, konstruksi Jalan, keperluan peningkatan kapasitas Jalan, dan keselamatan bagi pengguna Jalan. Ruang manfaat jalan tersebut dimanfaatkan untuk . jalur jaringan utilitas terpadu.
Advertisement
Kewajiban Pemerintah
“Sehingga dalam UU Jalan, Jalur Jaringan Utilitas Terpadu sudah menjadi kewajiban pemerintah baik itu pemerintah pusat atau daerah pada saat membangun jalan. UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pasal 5 juga menjelaskan, kabel telekomunikasi (komunikasi & Informasi), air, listrik merupakan bagian dari barang milik publik. Tujuan agar harga barang/jasa di masyarakat akan lebih murah,” kata Henry.
Karena jaringan telekomunikasi merupakan bagian barang milik publik, maka menurut Henry pemerintah pusat memberikan privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi. Privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi tersebut tertuang dalam PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, PP 46 tahun 2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran, PM kominfo 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan kebijakan untuk mempercepat transformasi digital: Rapat Terbatas Perencanaan Transformasi Digital (3 Agustus 2020).
“Jika merujuk pada PP 52 tahun 2000 jika pemda meminta operator telekomunikasi memindahkan jaringannya, maka operator telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/departemen/lembaga atau pihak lain,”ucap Henry.
Agar aturan di daerah seperti revisi Perda mengenai SJUT ini tidak tumpang tindih dengan regulasi diatasnya, menurut Henry pemerintah pusat harus melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Baik itu rumusan pasal atau penafsiran terhadap regulasi yang dibuat oleh pemda. Jangan sampai pemerintah pusat menganggap pembangunan SJUT adalah kewajiban pemerintah, namun pemda menafsirkan yang berbeda.