Sukses

Kisah Sapto Djojokartiko yang `Berjibaku` Pasarkan Rancangannya

Perjalanan desainer agar rancangannya diterima publik memang tidak mudah. Sapto Djojokartiko jungkir balik agar eksis di dunia fashion.

Liputan6.com, Jakarta Perjalanan seorang desainer untuk bisa diterima rancangannya di publik memang tidak mudah. Seorang desainer ternama Sapto Djojokartiko harus jungkir balik agar eksis di dunia fashion Indonesia.

Seperti apa kisah Sapto berjibaku memasarkan rancangannya, berikut obrolan menarik Liputan6.com di studionya yang terletak di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta pada Rabu 19 Maret 2014 seperti ditulis, Kamis (27/3/2014):

Saat ditemui Sapto tengah sibuk dengan urusan fitting baju para model untuk persiapan acara Fashion Nation 2014 yang digelar di Senayan City 27 Maret-5 April 2014. Pada pembukaan acara tersebut, Sapto Djojokartiko akan menampilkan koleksinya bersama dengan desainer Indonesia Denny Wirawan.

Kesulitan Bisnis Ready-to-Wear

Salah satu tujuan dari diadakannya acara tersebut adalah untuk membawa desainer-desainer Indonesia selangkah lebih dekat dengan dunia ritel fashion. Mengenai problem-problem saat masuk di dunia industri fashion ini, Sapto mencurhakan kisahnya kepada liputan6.com.

 

“Kami sudah buat berbagai koleksi dan memasarkan dengan berbagai macam cara, mulai dari social media, endorsement, dan lain sebagainya. Pada masa awal kami stres juga karena dengan semua cara itu, penjualan cuma satu atau dua buah dalam satu waktu,” jelasnya mengingat kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat mulai terjun di bisnis ready-to-wear.

Dengan mendapat banyak masukan dari teman-teman mengenai penentuan produk yang akan dijual sampai penetapan harga, peningkatan penjualan mulai meningkat di bulan keempat. Ditanya apakah kesulitan bisnis ready-to-wear di Indonesia diakibatkan oleh masyarakat Indonesia yang western-minded, Sapto menolak asumsi tersebut.

“Menurut saya sih nggak. Orang-orang Indonesia sudah mulai membuka mata ke produk-produk dalam negri. Yang paling penting ialah bahwa desainer Indonesia harus kreatif,” jawabnya.

“Masalahnya adalah bahwa kreatifitas tersebut bisa berdampak pada biaya produksi yang tinggi, baik itu terkait bahan, teknik jahit, dan lain sebagainya. Tingginya biaya produksi tentu akan berdampak pada harga jual dan pada akhirnya berkaitan dengan jumlah penjualan,” ucapnya tentang salah satu faktor penyebab kesulitan bisnis ready-to-wear.

2 dari 3 halaman

Tak Mau Mendesain Busana yang Berlebihan

Tak Mau Mendesain Busana yang Berlebihan

Saat wawancara berlangsung, timnya lalu lalang mengurus fitting yang dilakukan oleh para model. Dengan mengenakan rancangan Sapto Djojokartiko yang akan ditampilkan di Fashion Nation 2014, tiap model berpose untuk difoto.

Selain mendesain koleksi ready-to-wear, Sapto juga tetap menerima pesanan untuk rancangan-rancangan couture. Liputan6.com pun bertanya tentang apakah dirinya lebih suka merancang koleksi ready-to-wear atau koleksi couture. “Keduanya memiliki tantangan yang berbeda dan saya suka tantangan. Akan tetapi di satu sisi saya tidak ingin emosi saya terpancing dengan tantangan tersebut hingga berdampak pada dibuatnya sebuah rancangan yang tidak tahu akan diapakan setelah selesai dibuat,” jawabnya pada pertanyaan tersebut.

Sapto mengaku bahwa pada awal karirnya, ia masih terpancing terlalu jauh dengan tantangan tersebut. Namun seiring dengan perjalanannya di dunia fashion, ia berpikir bahwa sebuah rancangan harus dapat dipakai oleh orang-orang. Hal ini lah yang kemudian dijadikannya kontrol saat mendesain.

“Membuat desain yang riil. Itu yang menjadi nilai dalam kontrol saya pada kreatifitas mendesain. Riil bukan berarti bahwa rancangan tersebut dapat sekadar dipakai tapi juga memiliki sentuhan fashion yang tetap artistik namun tidak berlebihan.” Sambungnya, “Saya ingin ketika seseorang memakai rancangan saya, orang tersebut terlihat indah tanpa membuat orang-orang sekitarnya merasa aneh dengan model pakaian itu.”

3 dari 3 halaman

Sapto Djojokartiko batasi Selera Fashion Indonesia?

Sapto Djojokartiko Batasi Selera Fashion Indonesia?

Mengkiritisi apa yang dilontarkannya tentang nilai dalam berkarya, liputan6.com bertanya apakah hal tersebut justru membuat masyarakat fashion Indonesia terperangkap dengan pakaian-pakaian bermodel siap pakai. Sapto menjawab, “Menurut saya tidak demikian, Harus diakui bahwa sebagian besar orang memiliki kehidupan keseharian, jelas berbeda dari kehidupan selebiriti di panggung. Yang paling penting adalah adanya hal-hal yang pantas diapresiasi lebih pada sebuah karya”.

Tambahnya, “Saya ingin ketika orang melihat karya saya dari jarak yang lebih dekat, orang tersebut dapat mengeksplorasi detil-detil menarik yang tidak ditemui pada karya-karya siap pakai komersil. Jadi dengan cara ini saya pikir saya tidak membuat masyarakat fashion Indonesia terjebak dalam selera ready-to-wear yang komersil. Intinya adalah menghadirkan value lebih dalam sebuah karya tanpa harus menjadi berlebihan.”

Obrolan liputan6.com dan desainer Indonesia Sapto Djojokartiko terus berlanjut ke topik-topik menarik lainnya. Cuaca di luar saat itu sangat terik. Untungnya ada pendingin ruangan di studio itu. Sesekali Sapto meminta izin untuk menghentikan sejenak obrolan kami. Beranjak dari kursinya, ia menghampiri seorang model yang sudah tampil dengan busana karyanya. Sapto pun mengecek sang model. Apa yang sesungguhnya dilihat oleh seorang Sapto Djojokartiko saat seseorang mengenakan pakaian?