Sukses

`Trokomod` Heri Dono, Representasi Indonesia di Venice Biennale

Trokomod, karya senimaan kontemporer Indonesia Heri Dono akan ditampilkan di pameran seni kontemporer terkemuka Venice Biennale.

Liputan6.com, Jakarta Diburu waktu untuk lekas pergi ke bandara, sang seniman ternyata dengan terbuka menyempatkan diri untuk melayani wawancara singkat Liputan6.com. “Saya harap dengan dilihatnya karya ini, masyarakat dunia akan datang ke Indonesia untuk melihat sendiri perkembangan seni rupa di Indonesia,” ucap Heri Dono.

Nada nationhood yang ia miliki jelas terdengar dalam kalimat itu. Dalam sebuah karyanya yang akan ditampilkan di event seni rupa kontemporer tingkat internasional `La Biennale di Venezia` pada 9 Mei-22 November 2015 terlihat bagaimana elemen keindonesiaan dilibatkan. Rupa komodo menjadi bentuk dasar dari karya seni multi-platform berdimensi panjang 7 meter, lebar 3,5 meter, dan tinggi 4 meter tersebut.

Tapi yang disuarakan dari seniman yang adalah seorang lulusan Institut Seni Indonesia ini bukan warna eksotisme sebagaimana hal tersebut menjadi satu general judgment atas kebudayaan timur yang dikutubkan terhadap citra elegan kebudayaan barat. Rustic comodo dragon bergaris desain konstruksional karya Dono ini bagai produk mitologi tradisional yang di-juxtapose dengan latar industrial.

Foto: IndonesiaVenice.com

“Makhluk” yang tubuhnya berisi ragam karya berbagai media ini - termasuk video Presiden Pertama Indonesia Soekarno berpidato untuk PBB dan periskop yang memperlihatkan patung pria dengan wig eropa klasik – bukan hanya memutus asosiasi ketimuran dengan eksotisme tapi juga menyatakan irelevansi rigiditas genre seni yang selama ini dibangun oleh aktivitas teoretis di Barat. Bahwa sebuah karya yang objeknya surealis tampak berbalut gaya art deco dengan spirit avant-garde yang merasuk.

Seperti dituturkan oleh sang seniman pada konferensi pers, Kamis 23 April 2015 di Rumah Imam Bonjol, substansi dari karya yang akan dipamerkan di lahan seluas 300 meter persegi di Arsenale tersebut – yang merupakan lokasi utama dari Venice Biennale ke-56 selain Giardini – adalah perlawanan terhadap perspektif hegemonis barat sebagai subjek dan timur sebagai objek. Karya yang akan ditemani oleh 9 kreasi lain berjudul `Perahu Arwah` ini - rujukan atas posisi unggul Nusantara dalam satu bab sejarah kemaritiman dunia -  menjadi representasi Indonesia sebagai subjek yang berbicara secara setara dalam percakapan internasional.

Foto: Helmi A.

Peran yang dipilih Dono bagi komodonya di percakapan tersebut diambil dari kisah kuda Troya yang menghantarkan Yunani pada kemenangan perang. Alih-alih berisi pasukan yang memusnahkan lawannya sebagai mana dalam cerita kuda Troya, Trokomod ciptaan seniman yang sebelumnya sudah berpartisipasi sebagai peserta Venice Biennale pada tahun 2003 itu mengajak orang yang masuk ke dalamnya – ruang di dalam Trokomod dapat dimasuki oleh sekitar 8 orang – untuk berefleksi tentang bagaimana kelokalan bergerak dalam peradaban yang menglobal.

Di bawah tema besar Voyage, Trokomod kreasi pria kelahiran 1960 yang telah mengadakan pameran-pameran tunggal serta mengikuti proyek-proyek seni internasional ini – salah satunya adalah Trans-Figuration Mythologies Indonesiennes, Espace Culturel Louis Vuitton, Paris 2011 – membawa para penumpangnya mengarungi gagasan tentang entitas bernama Indonesia, subjek yang identitasnya tidak difinalisasi oleh kacamata pihak lain maupun oleh dirinya sendiri melainkan terus melebur dan memformasi diri dalam percakapan peradaban global.

Foto: Helmi A.

Demikianlah Trokomod melafaskan visi `All the World's Future` yang merupakan tema dari Venice Biennale 2015. Mengenai partisipasi Indonesia di La Biennale di Venezia, Restu Imansari Kusumaningrum selaku Artistic Director dari Indonesia National Pavillion yang diproduseri oleh Bumi Purnati Indonesia mengatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam ajang terkemuka itu penting untuk afirmasi eksistensi Indonesia – yang karya-karya senimannya sudah menembus pasar internasional – dalam komunitas seni internasional. Soal pemilihan Heri Dono untuk kali ini, Carla Bianpoen sebagai salah seorang kurator menilai bahwa seniman tersebut menghadirkan estetika tersendiri di mana budaya asalnya diambil dan “diperlebar” dalam karya-karya yang ia ciptakan. (bio/ret)