Sukses

Galeri Apik Sandingkan Lukisan dengan Kain Antik

Galeri Apik membuat pameran yang menyandingkan lukisan dengan kain antik.

Liputan6.com, Jakarta Galeri Apik Jakarta kembali menghadirkan pameran karya seni unik. Dalam event kali ini, galeri tersebut menyandingkan pameran seni lukis dengan sejumlah batik tulis kuno berusia lebih dari 80 tahun, kain tenun berusia lebih dari 50 tahun, dan kebaya antik.

Menurut Direktur Galeri Apik, Rahmat, pameran kali ini memang istimewa mengingat pelaksanaannya berkenaan dengan momen Hari Kartini. "Batik tulis itu kan dekat dengan citra wanita berkain. Bagi saya keduanya, baik lukisan maupun batik, memiliki nilai seni dan budaya tinggi, karena kreativitas perancangnya yang mengagumkan, memiliki banyak arti simbol khas dan dibuat handmade," jelas Rahmat, dalam pembukaan pameran bertajuk "Small Bites" di Galeri Apik, Plaza Radio Dalam 3A, Jakarta.

Dirinya sengaja mengangkat tema Small Bites, karena lukisan yang dipamerkan seluruhnya berukuran kecil, tidak lebih dari 90 cm x 90 cm namun sebagian besar adalah karya old master (seniman ternama) dan maestro yang menggugah hati, antara lain, Popo Iskandar, Nashar, Gerard Pieter Adolfs, Sunaryo, Made Wianta, Willem Gerard Hofker, Rustamadji, Arie Smit, Leo Eland, HAL Wichers, Willem Imandt, Rudolf Bonnet, Lee Man Fong, dan Soedibio. Sementara kain yang dipamerkan adalah kebaya antik, kain tenun wastra nusantara berusia 40 tahun lebih, dan koleksi batik-batik tua berusia 80 tahun lebih dari kawasan atau daerah perancang terkenal zaman itu.

Foto: Dok. Galeri Apik

"Batik tertua yang dipamerkan berusia 95 tahun, yaitu jenis batik tulis asli Oey Soe Tjoen dan Kopi Tutung. Jadi yang dipamerkan itu semuanya adalah kain unggulan (wastra prima)," jelas Rahmat. Rahmat kembali menegaskan, bahwa kain batik dan tenun adalah bagian dari karya seni, budaya dan desain tradisi. Semuanya dibuat dengan menggunakan media kain, malam, pewarna yang terkadang alami dan canting. "Semuanya adalah batik tulis. Sebagian dibuat hanya satu-satu saja setiap jenisnya dan tidak dibuat dalam edisi atau banyak artist’s proof seperti patung tembaga. Dalam proses pembuatan batik, bisa memakan waktu cukup lama jika dibuat tekun seperti halnya lukisan," jelasnya.

Lalu bagaimana dengan perbandingan lukisan dan kain batik sebagai investasi? Menurut Rahmat, dilihat dari sisi kapital/modal, membeli kain batik butuh waktu lebih lama namun biaya lebih murah ketimbang lukisan, namun masih banyak kolektor salah beli tekstil printing bermotif mirip batik yang mengira itu batik tulis. Tapi pada akhirnya, ketika kain bertambah tua dan dijual kepada kolektor batik lain, maka harganya bisa saja setara atau bahkan lebih tinggi dari lukisan. "Apalagi batik sangat identik dengan Indonesia. Sangat khas Indonesia. Jadi pasarnya sangat luas dan beberapa investor kolektor negara asing seperti Jepang, Amerika, Australia dan negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia sangat antusias mengumpulkannya sejak puluhan tahun lalu," akunya.

Foto: Dok. Galeri Apik

Meski diakuinya, saat ini masyarakat belum banyak yang memandang batik sebagai barang seni dan potensi investasi namun telah ada beberapa khas batik tulis antik yang harganya di atas lukisan maestro berukuran kecil. "Ini tantangan untuk membawa batik ke tingkat internasional, lebih khusus pasca pengakuan UNESCO, terutama bagi generasi muda untuk setia melestarikannya sebagai national heritage," harapnya. Seperti dilansir dari rilis media yang diterima Liputan6.com, pameran ini berlangsung selama satu bulan penuh hingga tanggal 25 Mei 2015. Seluruh lukisan dan batik yang dipamerkan tidak untuk dijual. (bio/ret)