Sukses

Mengenal Tradisi Menikah Suku Sasak Kampung Sade, Lombok Tengah

Tradisi menikah suku Sasak Kampung Sade Lombok Tengah yang turun temurun.

Liputan6.com, Lombok Tengah Kampung Sade merupakan sebuah dusun kecil yang terletak di desa Rambitan, Kecamatan Jumputan, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Kampung ini, seluruh warganya masih mempertahankan tradisi dan budaya suku sasak yang sebenarnya baik aktifitas maupun bangunan ataupun tata cara hidup mereka.

Mengunjungi kampung Sade ini tidaklah sulit yaitu hanya berjarak sekitar 20 kilometer (km) dari Bandara International Lombok (BIL). Jika tiba di kampung ini biasanya pelancong disambut dengan pergelaran tradisi musik tradisional suku sasak yaitu Gendang Beleq.

Liputan6.com diberikan kesempatan mengunjungi tempat ini. Saat tiba di lokasi, salah seorang pemuda yang juga warga asli kampung Sade menemui pelancong dan akan memperkenalkan tradisi dan budaya mereka. Cara itu merupakan cara baru bagi warga untuk menarik wisatawan.

"Kami disini merupakan generasi ke -15, Jumlah penduduk di kampung ini berkisar antara 700 hingga 750 jiwa, dengan jumlah rumah 150. Kebanyakan dari kami menikah dengan sepupu kami," kata Akum dihadapan para pelancong sebelum diajak berkeliling.

Akum menjelaskan, tradisi unik bagi warga kampung Sade adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan. Hampir seluruh anak muda di kampung tersebut menikah dengan sepupu mereka atau misan mereka sendiri. Karena, jika menikah dengan warga di luar kampung tersebut maka akan dikenakan biaya menikah yang cukup mahal.

"Jika menikah dengan orang luar maka maharnya cukup mahal yaitu seharga  dua ekor kerbau  kerbau. Namun, jika menikah dengan gadis di satu kampung ini, maka cukup membayar seharga 2 atau 3 juta rupiah saja," kata dia,
Hal itulah yang membuat anak muda kampung Sade memilih gadis di kampungnya ketimbang gadis luar.

Selain itu, kata dia, bagi masyarakat Kampung Sade terkenal dengan tradisi 'Kawin Culik'  yakni setiap pemuda yang ingin menikah maka harus menculik calon mempelai wanitanya selama satu malam, kemudian keesokan harinya, salah seorang perwakilan dari calon mempelai laki-laki mendatangi keluarga calon mempelai wanita sebagai 'Penyelaba' utusan atau pelapor.

"Dengan cara diculik itu, maka keluarga atau orang tua calon mempelai wanita akan merasa terhormat," terang dia.

Usai menjelaskan tradisi tersebut, Akum kemudian mengajak pelancong berkeliling menuju ke setiap sudut dan perumahan warga. Berbagai rumah adat yang terbuat dari kayu beratap daun ilalang tampak menghiasi setiap jalan di dusun itu.

Uniknya, seluruh rumah di kampung ini memili bentuk yang sama yaitu pintu rumah yang kecil dan atap yang meloncong tinggi. Di bagian dalam rumah terdapat dua buah kamar yaitu kamar bagi orang tua dan kamar khusus anak gadis. Posisi kamar anak gadis berada lebih tinggi di atas kamar orang tua atau ruang tamu.

"Ini dimaksudkan agar semua anak gadis tidak boleh sembarangan keluar kamar dan tetap dijaga. Jika gadis ingin keluar maka harus meminta izin kepada orang tuanya. Begitu juga jika ada anak lelaki yang sudah baligh tidak diperbolehkan tinggal ataupun tidur di dalam rumah melainkan harus di luar rumah, kecuali saat makan saja," jelas dia.

Sementara itu di sekeliling gang rumah warga, berjejer pernak pernik seperti kalung, Gelang dan mainan anak-anak. Selain itu juga banyak terpampang kain adat tenunan seperti selendang, sabuk, kerudung dan tenunan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan alat tenun tradisional juga.

Pantauan liputan6.com, Seluruh penenun adalah perempuan dan mayoritas anak gadis. Bagi warga, bisa menenun itu merupakan syarat khusus bagi seorang gadis kampung Sade yang ingin menikah, jadi setiap anak perempuan di kampung ini diajarkan menenun oleh orang tuanya sejak masih kecil.

"Setiap Gadis disini harus bisa menenun, jika tidak bisa menenun mereka tidak diperbolehkan menikah dan jika dipaksakan untuk menikah sebelum bisa menenun maka akan menjadi pembicaraan warga," Tandas Akum.