Sukses

Kecintaan Fesyen Desainer Didi Budiardjo & Perjalanan Karirnya

Seperti apa kecintaan desainer Didi Budiardjo pada fesyen? Dan bagaimana perjalanan karirnya?

Liputan6.com, Jakarta Setelah membuat fashion show bertema `Curiosity Cabinet` sebagai perayaan 25 tahun berkarya di dunia fesyen, desainer Didi Budiardjo menghadirkan Ressort Collection 2015 bertajuk `Criterion` di Bazaar Fashion Festival 2014.

Sudah sejak kecil Didi tertarik dengan sesuatu yang berbau keindahan, terutama fesyen. Ketertarikannya pada bidang itu semakin terlihat di bangku SMA. Di banding teman-temannya, Didi terbilang lebih berani dalam pemilihan model baju yang dikenakan.

Lulus SMA, Didi berpikir bahwa kuliah bukan jalur yang pas untuknya. Memutuskan untuk mendalami bidang fesyen, Didi masuk Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo pada tahun 1988. Setahun setelah masuk, Didi berhasil meraih juara pertama di lomba kreativitas antar siswa.

Atas pencapaian itu, dirinya diikutsertakan sebagai wakil dari Indonesia untuk Asian Young Designer Contest yang pertama di Singapura. Ia memang tak berhasil memenangkan lomba itu namun dari mengikuti kegiatan itu ia semakin yakin bahwa bidang fesyen lah yang ingin ditekuninya.

Atelier Fleuri Delaporte, Paris, menjadi tempuhan studi Didi selanjutnya. Sepulangnya dari sana, Didi menjadi lebih aktif di dunia fesyen. Hal ini memperkuat keyakinannya bahwa dunia fesyen adalah dunia yang ingin ia tekuni.

Demikian kisah ini disampaikan oleh Didi Budiardjo di kediaman dan butiknya yang beralamat di Jalan Bendi Besar No.20 Tanah Kusir pada Selasa (14/10/2014). Dalam wawancara itu, Didi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan rapi. Jawaban-jawaban yang dikeluarkannya mencerminkan pribadi yang menggunakan pemikirannya untuk merumuskan segala sesuatu.

Lalu, bagaimana ia merumuskan fesyen itu sendiri?

2 dari 3 halaman

Didi Budiardjo dan Kecintaannya pada Dunia Fesyen

Didi Budiardjo dan Kecintaannya pada Dunia Fesyen

“Fashion untuk saya adalah a constant beating heart, degup nadi jantung yang berkesinambungan, bahwa fashion itu hidup,” ucap desainer yang kala itu tampil mengenakan atasan patchwork batik berkerah bundar dan berlengan lebar. Tampilannya saat itu dilengkapi dengan sebuah kalung dan headband di tangan kanan dan kiri.

Puisi `Cet Amour` karya Jacques Prevert di fashion show Curiosity Cabinet dan Dongeng 12 gadis yang memutuskan untuk mengelilingi dunia dengan balon udara sebagai tema fashion show Criterion memperlihatkan kecintaan seorang Didi Budiardjo pada seni. Diminta pendapatnya tentang hubungan fesyen dan seni, Didi mengatakan “Untuk saya fesyen adalah sesuatu yang dipakai dan bukan dipajang seperti art. Fesyen dan art adalah 2 hal berbeda yang saling tunjang”.

Kecintaan Didi Budiardjo pada dunia fesyen membuahkan label Didi Budiardjo yang diluncurkan pada tahun 1996. “Di label `Didi Budiardjo` ini saya lebih bisa menemukan “diri” saya dan bisa lebih mengekspresikannya secara jujur. Sejak awal, label Didi Budiardjo ini memang fokus ke evening gown dan bridal gown,” ucap desainer yang pada tahun 1989 meluncurkan label `Anonymous`.

Kisahnya, saat label Didi Budiardjo berdiri, desainer Indonesia yang merancang evening gown dan bridal gown dipandang sebagai desainer kelas 2. Yang dianggap desainer kelas 1 saat itu adalah desainer ready-to-wear bernuansa avant garde. Didi melihat hal ini sebagai tantangan. Lama kelamaan minat masyarakat pada fesyen evening gown dan bridal gown pun berkembang dan menurutnya hal ini membantu dirinya untuk semakin berkembang.

Didi menjelaskan bahwa kini keadaan tampak seperti dijungkirbalikkan 180 derajat. Banyak desainer yang kini berkecimpung di dunia evening gown dan bridal gown sementara bidang ready-to-wear malah jadi lebih lemah. Jika dibanding beberapa negara tetangga, dunia fesyen ready-to-wear Indonesia lebih lemah. “Dunia fesyen memang berevolusi dan yang bisa mengungkap bagaimana jadinya adalah masyarakat itu sendiri,” ucap Didi.

3 dari 3 halaman

Dunia Fesyen Indonesia di Mata Didi Budiardjo

Pandangan Didi Budiardjo tentang Dunia Fesyen Indonesia

Pecinta fesyen di Indonesia tentu ingin Indonesia bisa memiliki ibukota fesyen dunia, seperti Inggris memiliki London, Amerika memiliki New York, Prancis memiliki Paris, dan Italia memiliki Milan. Tentang hal ini, begini kata Didi:

“Menurut saya untuk bisa punya fashion capital harus ada komitmen dari pelaku-pelakunya dan pemerintah juga harus memberi dukungan. Paris dan Milan sebagai ibukota fesyen tidak terbentuk dalam waktu 10 atau 20 tahun. Butuh perjuangan yang luar biasa bagi kota-kota itu untuk menjadi ibu kota fesyen.”

Menurutnya, Indonesia tak perlu dibebani dengan pikiran untuk bisa menjadi keempat negara dengan ibu kota fesyennya. Yang harus dilakukan oleh dunia fesyen Indonesia adalah kerja keras. Pangsa pasar Indonesia demikian besar dan pelaku dunia fesyen harus menjawab tantangan untuk menggarapnya. Hal ini menurutnya bisa menghidupkan perekonomian nasional.

“Ada banyak pihak yang terlibat di dunia fesyen. Dunia fesyen adalah bidang yang padat karya. Kita harus berkonsentrasi dan bergandengan tangan untuk bisa memperlihatkan bahwa dunia fesyen Indonesia adalah hal yang perlu “dilihat”. Apakah kita nantinya akan diakui sebagai fashion capital atau tidak bukanlah hal penting menurut saya,” pungkas Didi.

Sinergi antara para desainer fesyen dengan pengusaha garmen dan teksti adalah kendala fesyen Indonesia yang dilihat Didi belum terselesaikan sejak 30 tahun lalu. Di atas semua hal yang dihadapi dunia fesyen Indonesia, Didi Berharap agar fesyen Indonesia bisa semakin berkembang, agar pelaku-pelakunya lebih kompak untuk bisa mewujudkan fesyen Indonesia yang lebih kuat dan menjadi tuan rumah di negri sendiri.