Sukses

`Kebayaku` Persembahan Mien Uno untuk Ani Yudhoyono

Pada Rabu (19/11/2014), buku `Kebayaku` berisi koleksi kebaya milik Mien R. Uno diluncurkan.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah kebaya merah tampak begitu anggun dan mewah dibawakan oleh seorang model pada acara peluncuran buku berjudul `Kebayaku`, Rabu (20/11/2014) di hotel The Dharmawangsa. Kain songket palembang dominan warna emas campur merah dari Didiet Maulana mengukuhkan kesan mewah dari kebaya rancangan Chossy Latu yang bagian lehernya berdesain etnik royal.

Pemilik kebaya itu adalah Mien R. Uno, wanita Indonesia yang sudah menjadi sosok publik melalui berbagai kegiatan entrepreneurship dan kegiatan sosial, salah satunya adalah mendirikan Lembaga Pendidikan Duta Bangsa. Kebaya merah yang digunakan oleh istri Henk Uno itu untuk menerima penghargaan Ernst & Young Entrepreneur of the Year di Monte Carlo pada tahun 2010 tersebut merupakan satu dari sekian banyak koleksi kebayanya yang didokumentasikan di buku terbitan Gramedia yang ditulis oleh Debbie S. Suryawan.

Lobi Bimasena hotel The Dharmawangsa pukul 15.00 WIB pada hari itu sudah ramai dengan tamu undangan Mien Uno yang banyak berbusana kebaya. Di keramaian tamu yang sedang asyik berbincang-bincang sambil menikmati hidangan tradisional nusantara dapat ditemukan sosok-sosok yang dekat dengan Mien Uno, seperti Sandiaga Uno anaknya dan desainer Harry Darsono sahabatnya.

 

Buku setebal 175 halaman yang dipersembahkan untuk First Lady Indonesia tahun 2004-2014, Ani Bambang Yudhoyono, sebagai role model Mien Uno itu berisi tips padu-padan kebaya dengan kain dan aksesori yang dicontohkan dengan koleksi milik Mien Uno rancangan Ramli, Edward Hutabarat, Chossy Latu, Didiet Maulana, Ayu Mirah, Marga Alam, dan lain sebagainya.

“Nuansa pink lembut dari kebaya lace ini terlihat begitu menawan. Seakan menyiratkan pesan feminin yang kalem. Agar terlihat menarik, padankan kebaya dengan kain dalam sentuhan warna cerah yang serasi. Percantik kebaya dengan sematan bros berdesain kupu-kupu di bagian depan yang berfungsi sebagai focal point. Lengkapi dengan antik cantik yang menjuntai. Jangan ragu mengenakan selop bertumit tinggi warna keemasan. Tambahkan cluth bag warna pink pupus untuk melengkapi penampilan.”

Demikian petikan isi halaman 119 dari buku kebaya-kebaya kepunyaan Mien Uno berlatarbelakang kecintaannya pada kebaya yang terpupuk sejak usia 5 tahun kala memandang gaya berkebaya Siti Koersilah sang Ibunda. Omong-omong soal kebaya berbahan lace, buku ini juga menyinggung satu versi sejarah kebaya yang menyebut kedatangan bangsa Portugis pada akhir abad ke-14 (sekitar 2 anad sebelum bangsa Belanda datang) membawa gaya busana brokat atau berbahan lace yang kemudian disebut kebaya Renda.

Di bawah penjelasan yang terdapat di halaman 19 buku tersebut terdapat foto seorang wanita Eropa mengenakan kebaya dan sarung. Foto itu dibuat di Batavia sekitar tahun 1980. Melalui teks dan foto-foto kuno para wanita berkebaya atau baju tradisional sejenisnya yang berasal dari berbagai daerah – contohnya adalah foto keluarga Kenja di Apo Kajan, Borneo Timur, sekitar tahun 1930 – Debbie S. Suryawan sang penulis menyampaikan bagaimana kebaya adalah busana yang terbentuk dari saling silang atau perkawinan antar pluralitas budaya lokal maupun mancanegara dan bukan milik eksklusif bangsa Indonesia.

“Sejarah memaparkan bahwa hampir seluruh negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara mengenal kebaya, tentunya dengan berbagai nama.” Demikian kutipan dari halaman 15 buku tersebut. Sebuah versi lain sejarah kebaya yang disajikan di buku ini menyebut kebaya diperkenalkan pada abad ke-12 oleh pesyiar agama Islam saat masyrakat nusantara menjalin relasi dagang dengan saudagar-saudagar Timur Tengah. Disinyalir nama `Kebaya` berasal dari bahasa arab `Abaya`, kebaya menjadi sebuah manifestasi penetrasi nilai-nilai religius pada budaya lokal saat itu - yang dibuku `Costumes in ASEAN: ASEAN Committee on Culture and Information` (2000) budaya lokal itu dirujuk sebagai kemben.

Komitmen wanita bernama lengkap Rachimini  Rachman Uno terhadap kebaya sebagai warisan budaya nusantara yang dicintainya memang patut diacungi jempol. Mien Uno memang selalu terlihat berkebaya secara anggun, elegan, dan berkelas dengan segala padu padan koleksi beserta aksesorinya. Tak boleh lupa disebut pula tentang tatanan sanggul dan rias wajah yang melengkapi penampilannya. Akan tetapi, sebgai sebuah bentuk apresiasi budaya, jangan sampai absen refleksi kritis terhadap pandangan buku yang dominan berisi foto kuno pengguna kebaya dari kalangan atas ini, salah satunya foto Pangeran Ario Soerjohamidjojo bersama istri di Surakarta sekitar tahun 1930.

Ini tentang kebaya dan pakem-pakemnya. Meski mengaku suka juga dengan kebaya-kebaya modifikasi (yang dari buku itu disebut hanya pada bagian-bagian tertentu, contohnya kerah), Mien dan bukunya cukup lantang mempromosikan status quo proses kreasi kebaya yang seturut dengan pakem-pakem. Pada halaman 29 buku itu tertulis 7 pakem kebaya yang dikutip dari buku `Busana Nasional Indonesia` karya desainer Edward Hutabarat. Sebagaimana Mien Uno, Edward Hutabarat – yang kala itu berbicara bersama dengan Chossy Latu dan Didiet Maulana – juga mempromosikan hal itu bahkan secara berapi-api

Membaca kisah kebaya di buku tersebut yang mana ada banyak elemen budaya-budaya lokal maupun asing yang melebur menjadi sesuatu yang baru (berbeda dari yang lama), timbul pertanyaan bukankah justru merupakan sebuah proses regresif kala keberadaan pakem-pakem menjadi harga mati bagi proses pengkreasian kebaya? Bukankah terciptanya kebaya juga merupakan sebuah perubahan dari busana-busana sebelumnya, seperti yang dapat dinterpretasikan dari kisah kebaya di buku ini yakni sebagai perwujudan nilai-nilai Islami dalam menutup aurat?

Dari berbagai versi sejarah kebaya di buku ini, kebaya tampak sebagai wujud perubahan atas hal-hal yang sudah mapan sebelumnya. Kebaya merupakan hasil yang sangat lumrah dari gerak budaya. Bukankah ini esensi kebaya yang sesungguhnya? Yang dengan demikian esensi itu hilang kala pilar-pilar pakem ditancap mati pada proses pengkreasian kebaya?

Kebaya-kebaya seturut pakem itu indah dan sangat disayangkan bila itu hilang dari ranah busana peradaban manusia. Mien Uno adalah salah satu srikandi untuk urusan itu yang patut diberi apresiasi spesial. Namun kala pakem-pakem dijadikan represive rules dalam pengkreasian kebaya sehingga kebaya-kebaya “canggih” (yang tentunya juga dibuat untuk merayakan kecintaan atas keindahan budaya tradisional Indonesia) tak boleh lahir, tampaknya harus dilihat kembali bagaimana identitas kebaya tercipta sebagai sebuah bentuk gerak ubah budaya.

Perubahan sebagaimana halnya para model di acara peluncuran buku ini membawakan kebaya-kebaya dengan iringan musik yang bukan lagi gamelan atau instrumen tradisional lainnya, melainkan dengan lagu dangdut Jatuh-Bangun yang dibawakan oleh penyanyi Kristina. Di atas semuanya adalah sebuah kebanggaan bahwa kebaya dapat dinobatkan sebagai busana nasional, satu gelar yang mungkin juga bisa diberikan pada busana-busana tradisional lain. Tentang hal ini, mari adakan diskusi sendiri di lain kesempatan.