Liputan6.com, Jakarta Sebagian Anda yang membaca artikel ini mungkin merupakan anak era 90-an. Untuk yang berasal dari masa itu, ingatkah Anda bagaimana tagline produk susu `Aku dan Kau suka Dancow` booming seantero lingkungan pergaulan? Tambahan dengan adegan sang anak yang menggapai telinga kiri menggunakan tangan kanan yang diarahkan melalui belakang kepala. Nostalgia ini hadir saat menonton film dokumenter berjudul `Hajar` yang diluncurkan perdana di Galeri Indonesia Kaya, Kamis (20/11/2014).
Iklan susu itu bukan hadir sebagai iklan dari film yang ditayangkan melainkan sebagai bagian film yang mengisahkan perjalanan satu pioner agensi iklan di Indonesia, yakni Fortune Indonesia. Diisi oleh hiburan pembuka dan penutup dari sebuah band yang membawakan beberapa lagu Indonesia, pemutaran film dokumenter ini, sebagaimana dijelaskan dalam sambutan Indra Abidin selaku Presiden Direktur Fortune Indonesia, dibuat dalam rangka merayakan ulang tahun Fortune Indonesia yang ke-44.
Kata `Hajar` yang menjadi judul film ini mengacu pada spirit perjuangan Fortune Indonesia dan staf-stafnya dalam menghadapi berbagai problem yang muncul. Bagaimana efek stimulasi semangat juang sebagai intensi dari film ini akan bergantung pada kondisi psikis masing-masing penontonnya. Namun satu hal yang dapat secara umum ditangkap dari film yang dibuat oleh rumah produksi film asal Bandung, Sembilan Matahari, tersebut adalah kilasan lansekap perekonomian Indonesia yang berubah dari satu era ke era lain.
Advertisement
Arahan Sofyana Ali Bindiar sang sutradara pada para narasumber yang berkisah tentang perjalanan Fortune Indonesia di film ini agar menganggap tim film sebagai teman lama menghasilkan efek yang tampak natural. Indra Abidin pucuk pimpinan perusahaan itu, Triawan Munaf yang adalah Client Servicing di Fortune Indonesia pada tahun 1982-1987, dan narasumber lain tampil di film dokumenter itu sebagai pribadi yang sedang bercerita secara kasual pada orang-orang dekatnya mengenai bagaimana perjalanan Fortune Indonesia menjadi bagian dari perubahan warna perekonomian Indonesia.
Ilustrasi foto-foto lampau yang diolah secara digital hingga tampil lebih atratktif melengkapi narasi para narasumber maupun teks-teks yang menceritakan perjalanan Fortune Indonesia sedari menjadi embrio. Yakni tentang kisah Fortune Internasional (berbasis di Sydney, Australia) dalam menagani Cathay Pacific kliennya terkait rute penerbangan perdana ke Indonesia hingga akhirnya berhubungan dengan Mochtar Lubis dari perusahaan konsultan management ternama Indonesia saat itu, IndoConsult.
Seiring dengan semakin berkembangnya kerja sama itu terbentuklah Fortune Indonesia. Sekitar tahun cikal-bakal terbentuknya perusahaan tersebut, Indonesia mengalami perubahan ideologi ekonomi. Salah satu penanda peralihan ke warna sistem ekonomi pasar adalah kelahiran Undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal dalam Negri pada tahun 1968. Artinya pada saat itulah berbagai perusahaan asing berkesempatan untuk masuk ke pasar Indonesia.
Sebagaimana kegiatan dasar bisnis adalah berjualan dan dibutuhkan pemasaran untuk mendukung hal itu, jasa agensi iklan menjadi begitu dibutuhkan. Pertumbuhan industri media yang pesat di masa itu pun semakin mengukuhkan ladang iklan sebagai garapan bisnis yang sangat menggiurkan. Seiring dengan hal ini dan tentunya langkah-langkah strategi bisnis yang diambil, Fortune Indonesia membesar dan anak-anak perusahaannya pun lahir. Dari masalah-masalah yang dihadapi oleh Fortune Indonesia – salah satunya adalah warisan hutang sebesar US$ 400.000 pada Indra Abidin dan kawan-kawan saat mengambil alih perusahaan itu – masalah menarik terkait kegiatan beriklan adalah tentang keputusan TVRI pada tahun 1981 untuk tak lagi menyiarkan iklan.
Disinyalir stasiun televisi nasional itu mendapat alokasi dana dari pemerintah karena statusnya sebagai bagian dari Yayasan Gelora Bung Karno sehingga mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa pendapatan iklan tak dibutuhkan lagi. Wacana yang beredar terkait keputusan TVRI untuk tak lagi menyiarkan iklan adalah bahwa banyaknya iklan di staisun tv itu dapat mendorong konsumerisme. Cukup menarik melihat bagaimana Fortune Indonesia merespons kondisi ini yang diperparah dengan terbatasnya ruang iklan di media cetak.
Meski seperti dapat dilihat pada kisah narasumber film ini bahwa akhirnya mekanisme pemasaran dalam sistem ekonomi pasar tetap berlanjut di luar ruang – yakni dengan papan reklame, pengecatan gerobak pedagang, dan penggunaan Sales Promotion Girl di mana hal itu tentunya akan berdampak pada pembentukan pop culture – jelas terlihat bagaimana sesungguhnya ekonomi pasar yang mulai mewarnai Indonesia belum mencapai wujudnya yang sesungguhnya. Peran pemerintah masih begitu kuat terasa.
Kisah-kisah menarik lain dari perjalanan Fortune Indonesia, misalnya bagaimana perusahaan itu menghadapi klien yang kena tuduhan bahwa produknya mengandung babi, dapat Anda saksikan di film yang rencananya akan ditayangkan di situs resmi Fortune Indonesia, www.foru.co.id dan berbagai sosial media. Anda yang tak sabar untuk mengetahui kisah-kisah itu dapat membaca buku berjudul `Hajar` yang dapat diunduh di http://foru.co.id/2013/reading-room/hajar-book/. Jika dibandingkan dengan filmnya, buku ini punya narasi yang lebih detil.
Selesai film diputar, acara peluncuran film `Hajar` itu diikuti dengan bincang-bincang bersama beberapa narasumber yang tampil di film. Pada sesi itu, Indra Abidin selaku Presiden Direktur Fortune Indonesia mengutarakan optimismenya bahwa perusahaan iklan Indonesia pertama yang diperdagangkan sahamnya di lantai bursa itu (pada tahun 2002) akan bertahan bahkan lebih dari 100 tahun ke depan meski semakin banyak pesaing yang muncul.