Liputan6.com, Jakarta Dalam wiracarita Hindu, Mahabharata, Gandari adalah nama seorang putri negeri Gandara yang sekaligus merupakan istri dari Destrarata, raja buta dari Kuru. Ia juga dikenal sebagai ibu dari seratus Ksatria Kurawa (para penerus Kuru) yang habis dibinasakan lima bersaudara Pandawa dalam perang Baratayudha.
Berangkat dari kisah Gandari lah, pementasan Opera Tari berjudul Gandari digelar tanggal 12-13 Desember 2014 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Opera Tari ini merupakan sebuah pentas kolaborasi yang melibatkan seniman-seniman ternama Indonesia, Jepang dan Eropa.
Pementasan Opera Tari Gandari yang menggabungkan empat komponen seni yaitu seni sastra, musik kontemporer, tari dan tata rupa ini, disutradarai oleh Yudhi Ahmad Tajudin, seorang sutradara teater kontemporer Indonesia. Keempat komponen seni yang coba dikolaborasikan di opera ini sayangnya belum sepenuhnya menyatu secara utuh (belum menjadi kesatuan bentuk). Hal ini terangkum dan diketahui dari beberapa pendapat penonton seusai melihat pementasan Opera Tari Gandari.
Ruang Penghayatan Artistik
Musik orkestra dan penyanyi yang sudah memasuki interpretasi abstrak, menjadi unsur penting gerak tari, yang sepenuhnya berorientasi pada balet. Sedangkan interprestasi tema (Gandari) dieksplorasi lewat puisi karya Goenawan Muhamad.
Ketiga kompenen yang telah disebutkan di atas sangat terasa menjadi kekuatan terpenting di dalam menciptakan ruang-ruang penghayatan artistik yang begitu intuitif selama pertunjukan. Dan harus diakui juga, peran tata panggung yang lugas namun sugestif dengan bentukan menara tekstural, latar berundak dan pencahayaan secukupnya.
Properti ini digarap oleh pematung Teguh Ostrentik. Pengalamannya sebagai pematung yang fasih menterjemahkan keinginan artistik di ruang riil, membuat pertunjukan tampak memukau. Teguh Ostenrik, adalah murid Pematung Josep Buys dari Jerman yang merupakan tokoh penting gerakan pembaharu senirupa di Eropa era tahun 1960-an. Tak syak, Teguh pun serta merta memberi makna tersendiri bagi sukses pementasan Opera Tari Gandari di TIM.
Pemanfaatan tata cahaya sekunder yang digunakan Teguh Osterentik, boleh diacungi jempol sebab akan mengingatkan Anda pada lukisan-lukisan Rembrant van Rijn yang memfokuskan pada cahaya, yang menerpa figur utama. Tata cahaya seperti ini membawa penikmat pertunjukan ke ruang kedalaman imajinasi.
Advertisement
Gerak Tari Balet
Tetapi ada celah yang dapat dikategorikan sebagai "minus" dalam pementasan ini, yaitu gerak-gerak tari ballet yang selalu diulang dalam konteks fundamental dasar.Hal tersebut bisa dimaklumi ketika sang koreografer, Akiko Kitamura memanglah seorang koreografer yang bukan berasal dari negeri tari balet yaitu Bolshoi dari Rusia.
Andai saja Akiko berani membongkar tatanan dasar balet yang diusungnya pada pementasan ini dengan mendekonstruksi pakem-pakem Balet sesuai dengan ide kreatifnya sendiri ke era kontemporer yang memiliki dinamika setara berdasar kajian-kajian kreatifitas global, tentu bobot garapan koreografinya akan menampilkan nuansa dan citarasa artistik yang berbeda (tak sekedar Balet klasik). Sehingga, kesan kering dan monoton tak akan ditemukan pada pementaasan Opera Tari Gandari.
Dalam konteks ini, Akiko patut melakukan penyederhanaan, dan melakukan eksplorasi artistik secara lebih mendalam dan pribadi berangkat dari pemahaman cerita Gandari sehingga estetika yang dibutuhkan Opera berbasis tari yang digarapnya dapat lebih merasuk.
Ruang Intuisi dan Kehidupan Spiritual
Perpaduan musik orkestra dengan nyanyian oleh seorang soloist dari Belanda, Katrien Baerts, gerak tari, tata panggung, dan narasi-narasi puisi Gunawan Mohamad, secara menyeluruh telah menggiring penikmat Opera Tari Gandari ini ke sebuah penghayatan subyektif-obyektif yang elok tentang nilai-nilai estetika, yang dari penghayatan seperti itulah, ruang intuisi dan kehidupan spiritual kita dapat ‘bernafas’ dengan segar.
Sebagai kesimpulannya, Opera Tari Gandari yang dihadirkan oleh Tony Prabowo dan beberapa seniman terkemuka lainnya dari disiplin berbeda, yang secara kolaboratif telah merajut segenap kepiawaiannya, adalah merupakan sebuah tontonan penting di tengah hiruk pikuk tontonan yang hanya bersifat menghibur.
Nampaknya Jakarta membutuhkan tontonan berkualitas seperti ini lebih banyak lagi, sehingga asupan spiritual lewat gereget seni budaya dengan intensitas tata nilai yang tinggi dapat dirasakan masyarakat Jakarta.
Advertisement