Liputan6.com, Sigi Nama Pue Bongo sudah tak asing bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Namun kenyataannya, kondisi makam raja itu justru terlantar. Bahkan upaya pemeliharaan hanya dilakukan seadanya oleh warga sekitar. Pue Bongo merupakan Raja Bangga, di mana kini lokasi kerajaan itu dijadikan nama desa, yaitu Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi (sekira 43 kilometer dari batas wilayah Kota Palu).
Selain tangguh dan disegani, Pue Bongo juga merupakan salah satu raja yang berperan penting menyebarkan agama Islam di Sulawesi Tengah, khususnya di areal Kabupaten Sigi. Lahir di lingkungan penganut animisme dan dinamisme, Pue Bongo akhirnya menganut Islam ketika berjumpa dengan Datokarama (penyebar Islam pertama di Sulawesi Tengah).
Bersama Ma’ruf atau Sabandara yang merupakan utusan Datokarama, Pue Pongo mulai mengislamkan keluarga beserta warga Kerajaan Bangga dan sekitarnya. Metodenya adalah dengan cara memandikan pihak yang diislamkan itu ke sebuah sumur.
Advertisement
"Sumur itu dikenal dengan nama Silamu dan masih ada sampai sekarang. Sayangnya, sumur tua tersebut sudah tidak terawat lagi. Padahal Silamu termasuk salah satu peninggalan Pue Bongo yang tetap utuh. Airnya juga masih mengalir, tapi sudah keruh," tutur Saifudin.
Meski tergolong situs peninggalan bersejarah, sumur Silamu belum pernah tersentuh bantuan pemeliharaan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kabupaten Sigi. Kondisi airnya berlumut dan keruh. Letak cagar budaya itu pun terselubung, di mana akses jalan menuju ke sana harus melewati kebun milik warga. Ini sekaligus menjadikan aset budaya tersebut seolah terisolir.
"Sebenarnya Silamu sudah ada sebelum Kerajaan Bangga terbentuk, tepatnya di era kepemimpinan Vumbu Langi. Sejarah awalnya sumur tua itu bernama Vuvu Bangga yang merupakan tempat keluarnya mata air," katanya.
Sumur tua tersebut diyakini bisa menyembuhkan penyakit. Meski tidak ada dokumentasi yang bisa memastikan kisah ini, tapi kala itu dipercaya terdapat seorang bocah yang terkena penyakit kulit aneh. Seluruh badan bocah itu melepuh layaknya terbakar.
"Bocah itu kemudian direndam di sumur tersebut dan bisa sembuh. Dalam bahasa Kaili Ado, rendam artinya bangga. Karena kejadian itu begitu menggemparkan, maka sebutan bangga itulah yang dijadikan nama kerajaan dan sekarang menjadi nama desa," pungkas Saifudin.
Meski demikian, warga Desa Bangga hingga kini masih memegang erat kelestarian beberapa ritual adat yang ditinggalkan di masa Pue Bongo, antara lain Ada Ngata atau adat kampung berupa syukuran saat panen hingga ritual adat Tulak Bala. Aturan beserta sanksi adat pun masih diberlakukan hingga saat ini, salah satunya ketika ada warga melakukan Salakono (perselingkuhan).
"Perkembangan zaman serta teknologi begitu pesat saat ini, tapi kami bersyukur warga Desa Bangga masih mau memelihara adat dan tradisi, termasuk peninggalan dari zaman Pue Bongo. Tidak perlu jauh-jauh, bahasa daerah yang digunakan di masa Pue Bongo yaitu Kaili Ado, masih dipakai sebagai bahasa sehari-hari hingga sekarang," ucapnya. (Dio Pratama)