Liputan6.com, Yogyakarta Pada sebuah kerajinan perak Kotagede, Anda bisa belajar untuk mengapresiasi proses interaksi budaya dan bagaimana berwawasan terbuka dalam menyikapinya – meski tentunya rupa-rupa proses tersebut perlu dilihat secara kritis, misalnya rupa kolonisasi. Dalam sejarah Yogyakarta, ini adalah tentang desain peranti makan, seperti piring maupun tea set, kepunyaan mereka yang terlahir berdarah biru.
Lumrahnya sebuah kerajaan, segala sesuatu yang mengkilat menjadi salah satu penanda dari gaya hidup anggota kaum aristokrat. Di samping emas, perak adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Keraton Yogyakarta sejak dulu. Ketika disebut bahwa Kotagede ialah yang telah lama memasok alat makan perak ke tempat itu, jangan dibayangkan bahwa sejak mulanya wujud poci perak yang diproduksi memiliki detil ukir.
Baca Juga
Saat Liputan6.com berkunjung ke Kotagede pada awal Mei 2015, workshop kerajinan perak Priyo Salim membuka lebar pintunya untuk memberi tur ringkas tentang proses produksi dari karya-karyanya. Sebuah gang kecil harus dilewati untuk sampai ke workshop-nya yang berlokasi di Kebohan. Sembari menjelaskan soal masa kejayaan kerajinan perak Kotagede, sebelum tur dimulai, Priyo Salim sang empunya label menujukkan alat-alat makan perak berdesain polos tanpa ukiran.
Advertisement
Agnes Mary Pownall, istri dari Pieter Rudolph Wolter van Gesseler Verschuir yang adalah Gubernur Yogyakarta periode 1929-1933, merupakan satu nama krusial yang disebut dalam penjelasan Priyo. “Ia menyumbang ide untuk memberi ukiran Jawa pada peranti makan perak, sebagaimana alat-alat makan perak berukir di Eropa”. Sejak saat itulah kerajinan perak Kotagede dengan detil cantik ukirannya, misalnya ukiran relif Candi Prambanan, melalang buana hingga ke Eropa.
Berkat penggunaan teknik repousse atau emboss yang telah hadir dalam peradaban manusia sejak zaman Mesir Kuno, kerajinan perak Kotagede memasuki masa keemasaannya, yakni sekitar tahun 1930an. Menurut penuturan Priyo, gaji pengrajin perak yang didapat saat itu bisa digunakan untuk membeli 30 Kilogram beras.
Di ruang tempat pria kelahiran tahun 1961 ini memberi penjelasan bisa dilihat peranti-peranti makan berukir yang tak hanya cantik tapi juga jelas terasa regalitasnya. Itulah hasil dari pertemuan seorang nyonya Eropa dengan hasil kerajinan untuk bangsawan lokal.
Kini bisnis kerajinan perak Priyo Salim bergerak dominan di perhiasan, bukan lagi alat makan. Ada kisah sendiri di balik hal ini.
Priyo Salim Susuri Jatuh-Bangun Perak Nusantara
Priyo Salim Susuri Jatuh-Bangun Perak Nusantara
Hanya sekitar satu atau dua langkah dari tempat Priyo Salim memberi penjelasan, terdapat bangunan terbuka dimana para pekerjanya khusuk mengukir. Tapi bukan di sana titik awal dari proses penciptaan kerajinan perak. Priyo kemudian mengajak tim peserta tur menuju ke wilayah belakang workshop-nya.
Sesampai di tempat itu tampak seorang pria tengah melebur perak. Pengamatan terhadap proses itu disertai dengan terciumnya bau pekat dari terleburnya perak oleh api. Bersegera sang pekerja menuangkan hasil leburan pada sebuah cetakan. Lempengan perak hasil pencetakan itu yang kemudian diolah menjadi perhiasan melalui kreativitas dan ketekunan mengukir.
Alih arahan dari pembuatan peranti makanan ke perhiasan bukan berlatarbelakang tren. Ini dikarenakan pesanan alat makan perak menurun akibat harga yang melambung tinggi sebagai dampak jatuhnya nilai tukar rupiah saat digulingkannya Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru-nya. “Dalam jangka waktu 6 bulan, harga perak melambung dari Rp 400 ribu jadi Rp 3 juta per kilogram,” kisah Priyo.
Lanjutnya, “Pengusaha yang hanya bisa memasarkan produknya di dalam negri jadi bangkrut dan melakukan banyak PHK. Sementara mereka yang bisa ekspor tetap bertahan. Alhamdullilah, Priyo Salmi sudah bisa ekspor ke Amerika sejak tahun 1990-an”. Namun kemudian para eksportir kerajinan perak pun terkena dampak krisis finansial dunia yang melanda tahun 2008 .
Menurut Priyo, harga perak waktu itu membubung tinggi hingga Rp 6 juta per kilogram. Karyawannya menyusut dari tadinya sebanyak 65 orang menjadi hanya 15 orang. Kondisi ini diperparah dengan pengenaan pajak sebesar 10% untuk produk-produk kerajinan perak sehingga membuat daya kompetisi untuk bersaing di pasar internasional semakin menurun karena harga jual jadi lebih mahal.
Kini seiring dengan situasi perekenomian nasional yang mulai stabil lagi, Priyo sedikit demi sedikit mulai bangkit dengan usaha kerajinan peraknya. Ada 27 karyawan yang saat ini bekerja untuk labelnya. Priyo tumbuh sedari kecil dengan usaha kerajinan perak dan sudah terukir di hatinya untuk menjaga eksistensi bidang itu. “Visi saya adalah untuk menjaga keberlangsungan seni ukir perak,” ucap pria yang becita-cita untuk membuat buku tentang cara mengukir perak yang baik.
Untuk tujuannya itu, Priyo juga memberi kesempatan bagi pelajar atau mahasiswa untuk praktik teknik ukir di workshop-nya. Karya-karya Priyo Salim berlabel harga puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Jika Anda melakukan pemesanan, butuh waktu sekitar 2 bulan atau lebih untuk seluruh proses pengerjaan hingga tercipta hasilnya.
Jika Anda suka dengan kerajinan satu ini dan ingin turut memakai maupun melestarikannya, Anda bisa berkunjung ke Kotagede sambil menikmati plesir di Yogyakarta. Untuk membeli kreasi-kreasi Priyo Salim, Anda bisa berkunjung ke showroom-nya yang berlokasi di Jl. Kemasan 50.
Suasana Kotagede terasa kesan warisan sejarahnya dengan bangunan-bangunan rumah kuno. Rasa ini yang melingkupi perjalanan Liputan6.com melewati kota itu, dari dan menuju kembali ke Hyatt Regency Yogyakarta sebagai akomodasi yang lebih dari sekadar akomodatif tapi juga spesial.
(bio/igw)
Advertisement