Liputan6.com, Jakarta Ada yang menarik tentang Dusun Nglanggeran Wetan, RT 19/RW 04, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, DIY. Selain mengenai lokasi kampungnya yang terletak di atas puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, kampung ini punya aturan tentang jumlah keluarga yang menghuninya. Dusun ini hanya ditempati 7 keluarga.
Kampung ini bisa dicapai dengan kendaraan dengan jalan yang didominasi bebatuan besar dari endapan lava gunung sejak masa purba. Sesampai di atas puncak akan terlihat ada 9 rumah yang tersusun bergandeng. Rumah dibangun dari batu bata dan listrik pun sudah teraliri.
Aturan mengenai batas 7 keluarga yang dapat tinggal di sana memang sudah berjalan sejak dahulu. Konon jika jumlahnya tidak 7, maka sesuai kepercayaan, warga desa akan terkena tuah kehilangan keluarga dalam kematian.
Rejo Dimulyo salah satu sesepuh desa setempat mengatakan kepercayaan ini sudah dipegang warga sejak dari zaman buyutnya. Sehingga jumlah keluarga yang tinggal di sana harus tujuh."Kalau kurang ya ditambah, kelebihan ya dikurangi," katanya kepada Liputan6.com Selasa 2 Juni 2015.
Rejo menjelaskan bahwa dirinya memiliki 16 anak. Enam anaknya sudah meninggal. Sementara 9 anaknya harus tinggal diluar kampung yang ada di bawah gunung. Hanya satu anaknya yang tinggal satu rumah dengannya yaitu Surono.
Dusun Nglanggeran Wetan ini hanya ditinggali 20 orang dari tujuh keluarga. Tujuh keluarga itu terdiri dari Kartu Keluarga atas nama Rejo Dimulyo, Warso Diyono, Hardi, Dalino, Seman, Kamiyo, dan Gito. Semuanya memiliki rumah yang tersebar diantara perbukitan.
Rejo Dimulyo mengaku tidak berani menceritakan sejarah aturan di dusunnya itu, sebab dirinya terikat dengan perjanjian leluhurnya. "Saya tidak berani menceritakan asal usul dan sejarahnya, karena berat sanksinya. Harus ada syarat di antaranya rokok merk pompa, dan beberapa persyaratan lainnya,"katanya.
Rejo menceritakan aturan itu pernah dilanggar oleh anak dari paman Rejo beberapa tahun lalu. Akibatnya kejadian kematian pun terjadi. Saat itu sepupunya merasa tidak memiliki tempat tinggal dan membawa satu keluarga bersama anak dan cucu diboyong pindah. Namun keluarga sudah memperingatkan agar tidak melanggar aturan itu. "Dulu pernah ada yang nekat tetapi meninggal tanpa sebab yang jelas, oleh sebab itu, dirinya dan keluarga tidak berani melawan,"katanya.
Rejo mendapat pesan dari leluhurnya bahwa dirinya dan anak turunannya tidak perlu khawatir akan kekurangan tempat tinggal di daerah lain. Karena semuanya pasti akan tercukupi."Eyang bilang pasti punya, bahkan tidak kalah dari orang kaya. Sekarang terbukti anak cucu saya memiliki tempat tinggal meski tidak harus di sini,"ujar Rejo.
Advertisement
(Fathi Mahmud/Bio)