Sukses

Hingga Desainer Hian Tjen Memikul Sebuah Harapan

Berikut ini adalah cerita Hian Tjen tentang karirnya di dunia fesyen. Dan sebuah harapan pun kini ada di pundaknya.

Liputan6.com, Jakarta Butik Hian Tjen di bilangan Pluit, Jakarta, bernuansa minimalis dengan sentuhan elemen alam. Selain keberadaan meja kayu yang di atasnya terdapat sebuah vas tanaman, pintu kayu warna coklat dengan ornamen chinese tassel di tengahnya membuat interior butik itu terasa teduh. Saat Liputan6.com berkunjung pada Rabu 12 Agustus 2015, ruang di balik pintu itu menjadi tempat penyanyi Andien melakukan fitting.

Beberapa potong gaun yang dicobanya tampak cantik, termasuk yang kuning menyala. Sembari mata sang desainer memindai bagian busana yang perlu disesuaikan dan tangannya turut membantu, Hian melayani kliennya itu dengan obrol-obrol santai. “Memang harus seimbang antara berjualan dan berkreasi membuat karya-karya sesuai imajinasi seutuhnya yang mungkin tak bisa menghasilkan pendapatan,” ucapnya dalam wawancara yang berlangsung setelah proses fitting Andien rampung.

Bahwa aktivitas berjualan sebagai sarana keberlanjutan fesyen merupakan sebuah ide yang luas dipegang oleh para perancang mode, Hian `menganut` satu ideologi yang menjaga agar fesyen itu sendiri tetap mendapat sebuah ruang dimana aktivitas penawaran-permintaan bukan bagian dari desainnya. Sisi eksploitasi artistik dari fesyen ditempatkannya pada fashion show dan fashion spread.

Foto: Herman Zakharia

Tiap desainer memang punya jalan masing-masing dalam memperlakukan wajah seni dari fesyen terkait dengan soal bisnis. Pilihan-pilihan itu punya konsekuensi tersendiri. Untuk keputusan Hian, hal positif yang didapat adalah bahwa dirinya memiliki arena yang memungkinkan imajinasi dan kreatifitas fesyennya melalang buana ke segala arah begitupun dengan pemanfaatan skill-nya. Dampaknya ialah pembentukan identitas seorang fashion designer yang sartorialitasnya terekspos maksimal. Pun ini akan membawa pengaruh pada segi bisnisnya.

Gaun feather hitam-putih tanpa lengan dan berbelahan dada rendah serta serangkaian busana high fashion lain pada fashion show tunggal perdananya yang bertema `Chateau Fleur` menjadi bukti awal tentang bagaimana desainer kelahiran Pemangkat Kalimantan Barat pada tahun 1985 ini memanfaatkan ruang yang disediakannya sendiri khusus untuk ajang unjuk olah mode. Berlangsung di hotel Raffles Jakarta pada Rabu 19 Agustus 2015, peragaan busana ini sukses mentasbihkankan Hian sebagai couturier dengan kemampuan merancang koleksi adi busana.

Foto: Helmi Afandi - Liputan6.com

Akan tetapi, meski fungsi artistiknya sebagai pelaku seni mode sudah tersalurkan di arena fashion show ataupun fashion spread tak berarti Hian serta merta lepas dari satu tantangan riil yang menjumpai semua desainer, yang sekaligus menjadi parameter etis akan profesi pilihannya itu. Apakah ketika kemampuan rancang mode Hian terungkap maksimal di pagelaran busana, lantas ia boleh berjualan sebagai desainer yang mengikuti apapun keinginan kliennya tanpa menaruh perhatian estetis dari kacamata seorang desainer? Soal inilah yang diharapkan agar Hian mau menjawabnya dengan bijak.

Pasalnya, desainer yang berupaya menampilkan karakter cantik, feminin, dan seksi dalam rancangannya ini kini memikul satu harapan yang digantungkan oleh dunia fesyen Indonesia. Termaktub di dalamnya tentu adalah agar ia berkontribusi pada penawaran ragam eksplorasi estetika mode untuk pecinta fesyen tanah air agar semakin kaya selera. Tawar menawar soal desain dan pengorbanan di dalamnya, baik yang dilakukan klien maupun perancang, adalah jalur yang perlu dilalui demi satu titik temu imajinasi mode. Kesepakatan hasil percakapan inilah yang menjadi elemen pembentuk realita fesyen.

2 dari 2 halaman

Perjalanan ke Dunia Fesyen sampai Tiba Memikul Harapan

Perjalanan ke Dunia Fesyen sampai Tiba Memikul Harapan

 

Saat diwawancara, Hian duduk di meja kerjanya yang terletak di dekat diding kaca dengan pemandangan susunan batu-batu kelabu. Cukup banyak buku yang bertumpuk di sana. Mengenakan kemeja putih dan kacamata, ia menceritakan hal ihwal dirinya berkecimpung di dunia desain fesyen.

“Aku suka fesyen sejak SD. Meski bukan tailor, Ibu ku dulu suka bikin baju dari sisa-sisa kain. Kain-kain itu juga aku pakai untuk buat baju-baju boneka kakak ku,” Hian memulai kilas balik. Ungkap desainer yang rancangan-rancangannya bersiluet dasar dengan permainan material, ornamen, dan kerumitan konstruksi itu, semakin terlihat bakatnya di fesyen melalui berbagai hal soal mode yang dilakukannya lebih baik dibanding teman sebaya dulu, contohnya dalam padu-padan busana.

Tutur Hian, “Oleh karena itulah setelah lulus SMA aku pilih melanjutkan pendidikan di bidang fesyen. Bersykur orangtua tidak mempermasalahkan dan mendukung.” Masuk Esmnod Jakarta tahun 2002 dan lulus tahun 2003, desainer yang lebih dahulu dikenal sebagai perancang busana pernikahan ini kemudian direkrut oleh perusahaan garmen. Setelah bekerja di 2 perusahaan selama 5 tahun, ia memutuskan untuk membuat label sendiri, yaitu pada tahun 2008.

Foto: Herman Zakharia

“Dengan melihat pencapaian dalam memenangkan lomba-lomba ditambah dengan dukungan teman-teman, aku percaya diri untuk meluncurukan label sendiri. Meskipun pada saat itu sebenarnya orangtua tidak terlalu setuju. Aku membangun label ku dari nol, mulai dari memasarkan rancangan dari rumah ke rumah,”kisahnya.

Dituturkan Hian bahwa sebanyak 80% konsumen datang kepadanya untuk keperluan pernikahan, baik itu busana pesta ataupun busana pernikahan itu sendiri. Itulah mengapa kemudian ia fokus menggarap segmen evening gown dan bridal meski bidang itu bukan menjadi tujuannya sejak awal menekuni fesyen. Menurut perancang yang mengaku awalnya agak tak PD (percaya diri) dalam menyelenggarakan fashion show tunggal perdananya itu, dunia bridal dan evening gown di Indonesia punya banyak desainer yang berkemampuan hebat hingga dapat mengerjakan detil rumit.

Foto: Helmi Afandi - Liputan6.com

Hanya saja ia melihat semua itu kurang mendapat exposure. Bicara soal desain dari gaun malam dan busana pernikahan di dunia mode tanah air, Hian menyebut perihal signature line yang dimiliki oleh beberapa desainer. “Sebagian, terutama yang senior seperti Sebastian Gunawan, Biyan, sudah memiliki garis khas. Aku sedang mencari garis aku, garis yang jika ditunjukkan ke masyarakat langsung dapat dikatakan bahwa itu garis Hian,” demikian ia memaparkan `proyek` yang tengah digarapnya.

Ketika mendengar hal itu dilontarkan, sebuah pertanyaan segera diajukan kepadanya. Bukankah membuat koleksi dengan siluet mengulang-ngulang itu membosankan? “Ambil contoh Elie Saab. Rancangan-rancangan Elie Saab dari tahun ke tahun bisa dibilang hanya ganti bahan dengan siluet yang sama,” kata Hian mengawali jawabannya. Lanjutnya, “Tapi semua orang terpukau. Memang ada juga sebagian orang yang melihat merasa bosan. Apa yang ia lakukan merupakan salah satu cara untuk menunjukkan karakternya. Akan tetapi saya juga berpikir bahwa menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam sebuah koleksi itu hal yang penting.”

Foto: Herman Zakharia

Kalimat penutup jawaban itu cukup melegakan. Kebaruan yang dihadirkan oleh seorang fashion designer dalam koleksi rancangannya merupakan hal krusial bagi dunia mode sebab melalui hal itulah selera terjaga nafas kehidupannya. Tak luput juga untuk disampaikan bahwa signature line tak salah untuk dicari. Yang penting untuk diperhatikan dalam proses mendesain adalah sejauh mana upaya pencarian itu perlu ditempuh dan pada saat apa ia harus dilewatkan. Melalui show Chateau Fleur, Hian berhasil memukau pecinta fesyen dengan karya-karya adi busana nan imajinatif dan indah. Hal ini akan dinantikan di babak-babak berikut dari perjalanan karirnya.

Teriring harapan pada sosok Hian Tjen agar sayap imajinasi dan kreatifitas fesyennya bisa terbuka lebar dan melayangkan adi busana Indonesia ke tempat amat tinggi, dengan minim batasan, termasuk bila itu adalah usaha menemukan kekhasan tarikan desain.

(bio/igw)