Liputan6.com, Jakarta Calonarang merupakan cerita semi sejarah yang berkembang di tanah Jawa dan Bali. Dalam dua latar budaya tersebut, kisah Calonarang dipertahankan sebagai grubug atau geguritan, yaitu tradisi lisan yang hidup dan berkembang dari mulut ke mulut. Meski demikian, embrio kisah Calonarang sebenarnya masih tersimpan di Perpustakaan Nasional dalam bentuk naskah lontar.
Tak hanya dipentaskan dalam sendratari, kisah Calonarang juga diceritakan kembali dalam berbagai genre seni, seperti film, komik, bahkan animasi. Dalam ranah sastra kontemporer, kisah semi sejarah ini juga diceritakan kembali dalam novel. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun, antara 1999-2007, telah terbit tiga novel dari tiga penulis berbeda yang menceritakan kembali kisah Calonarang. Meski memiliki tema yang sama, namun ketiga penulis menghadirkan sosok Calonarang yang berbeda-beda.
Berikut tiga novel Indonesia yang menceritakan kembali kisah Calonarang, seperti yang disusun tim Liputan6.com, Rabu (21/10/2015).
Advertisement
Dongeng Calon Arang, karya Pramoedya Ananta Toer
Dalam novel karya Pram, sosok Calonarang digambarkan sebagai perempuan menyeramkan yang memiliki ilmu teluh. Meski menyeramkan, Calonarang memiliki anak perempuan yang cantik bernama Ratna Manggali. Meski cantik, Ratna Manggali tidak ada yang mau meminang lantaran memiliki ibu yang menyeramkan. Pergunjingan sebagai perempuan ‘yang tidak laku’ yang melekat dalam diri Ratna Manggali membuat Calonarang murka dan meneluh seluruh Desa Girah hingga hangus terbakar.
Galau Puteri Calonarang, karya Femmy Syahrani
Tidak melulu jahat seperti yang digambarkan novel sebelumnya, sosok Calonarang dalam novel ini memiliki sifat rwabhineda, yaitu keseimbangan antara baik dan buruk. Calonarang merupakan ibu yang baik bagi Ratna Manggali, dan dihormati oleh Raja Airlangga sebagai ‘ratu yang terbuang dari istana’. Sifat jahat Calonarang hanya ditujukan kepada Rakajasa, tokoh dalam novel yang menjadi simbol kekuatan maskullin.
Janda dari Jirah, karya Cok Sawitri
Berbeda 100% dengan dua novel Calonarang sebelumnya, sosok Calonarang dalam novel ini justru digambarkan sebagai pendeta suci yang memimpin sebuah kabikuan (desa khusus). Tidak ada teluh, tidak ada gambaran mengenai sosok perempuan tua menyeramkan dengan lidah menjuntai, taring dan kuku yang panjang. Calonarang dalam novel ini tidak hanya menjadi ibu bagi Ratna Manggali, tetapi juga menjadi ‘ibu’ bagi tanah leluhur. (Ibo)