Sukses

Cerpen: Siang Terakhir di Warung Mas Eko

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Sabtu (11/3/2016), Siang Terakhir di Warung Mas Eko karya Sulung Lahitani.

Liputan6.com, Jakarta Lagi-lagi kita terperangkap di sudut warung Mas Eko. Sepi yang menyengat biarkan kita duduk dalam diam. Aneh, tidak biasanya warung Mas Eko lengang begini. Kau berbisik padaku. Setelah itu, kau kembali mengunci rapat-rapat bibir ranummu. Aku tidak ambil pusing.

Lagi-lagi kita meminta pesanan yang sama. Pesanan yang telah berpuluh kali kita ulang, hingga menjadi kebiasaan. Satu gelas es cendol dengan durian tanpa emping kelapa untukku, serta segelas es cendol lengkap untukmu. Tidak ada yang berubah.

Aku mengenang masa pertama kali kita di sini sambil memperhatikan tiap gerakan Mas Eko. Waktu itu, cuaca Kota Padang yang membakar memaksa kita mencari pelepas dahaga. Dan warung es cendol Mas Eko ini lah pilihanmu. Rasanya seperti baru kemarin.
“Rasanya seperti baru kemarin, ya?” Suaramu mengagetkanku. Seolah kau bisa membaca pikiranku saja.

“Ternyata sudah empat tahun. Dan sebentar lagi kita akan melangkah sendiri-sendiri.”

Kau menoleh padaku. Bros jilbab yang kau kenakan berkilauan ditimpa cahaya matahari. Bersaing dengan matamu yang juga tampak bersinar. Kau tersenyum, tapi aku tahu ada kepedihan yang kau coba simpan rapat-rapat.

“Menurutmu, ketika kita sudah kerja nanti. Masih bisakah kita bertemu dan menghabiskan hari bersama? Bersama teman sekelas kita yang lain juga tentunya.”

Aku tidak menjawab. Membiarkan Mas Eko meletakkan dua gelas es cendol di depan kita. Mengamati titik air yang terbentuk di dinding gelas sembari menyusun kata-kata. Agak aneh rasanya kau bertanya seperti itu. Mengingat kau bukanlah tipe seseorang yang melankolis.

“Tentu saja.” Aku mengaduk gelasku, memasukkan sesendok cendol ke dalam mulut. Kesegaran serasa meruyak di mulutku. Menghapus kebas yang tercipta akibat kata-kataku barusan. Aku sendiri tidak terlalu yakin.

“Kau yakin? Waktu mampu melenakan kita, Ndi. Satu persatu, akibat kesibukan, kita akan semakin jarang berinteraksi dengan masa lalu. Aku pasti akan merindukan saat-saat kita bolos kuliah dan pergi ke pasar. Menggoda ibu-ibu penjual kue, mencicipi buah-buah yang ditawarkan sebagai contoh, dan berakhir dengan segelas es cendol. Seperti saat ini.”

Aku terdiam. Mengamati raut wajahmu. Matamu menerawang, menembus plastik terpal atap warung ini. Kemana pikiranmu melayang, Ka?

“Sebenarnya aku tidak suka perpisahan. Perpisahan tidak ada bedanya dengan candu. Menyusup dalam tiap tetes darah kita, mengalir di setiap alur nadi. Menyenangkan saat kita bisa merelakan perpisahan tersebut, lalu perlahan menyiksa kita. Menyiksa dengan kenangan yang berkelebatan.”

“Tapi bukankah di setiap pertemuan memang harus ada perpisahan. Itu hukum alam bukan?” Aku meneguk es cendolku. Sedari tadi kau tidak menyentuh gelasmu. Tidak biasa-biasanya.

“Perpisahan selalu diiringi dengan kenangan. Kenangan turut serta membawa bagian dari diri kita. Ketika perpisahan terjadi, maka seolah separuh diri kita pun dibawa pergi.”

Aku mulai paham ke arah mana pembicaraan ini. Bukannya aku tidak suka momen seperti ini. Kesempatan yang sempurna sebenarnya. Menggelitikku untuk mengatakan hal yang telah aku pendam sejak lama. Tapi aku tak bisa. Lidah ini rasanya kelu.

Hening mulai menyelusup di antara kita seperti hantu. Aku diam menunduk. Sementara kau menunggu pengakuan yang mungkin telah lama tampak gelagatnya. Waktu berlalu dan kau pun berdiri.

“Kau tahu, Ndi? Terkadang kita mesti menjadi pahlawan bagi diri sendiri dan mengambil kesempatan yang ada. Sebab kesempatan tidak datang berkali-kali. Sayangnya, kau bukan orang seperti itu.”

Kau meraih tas sandangmu dan berjalan ke luar warung. Aku memandangi punggungmu sembari meremas tangan. Inikah saatnya? Aku tak yakin, tapi jika tidak aku katakan sekarang entah kapan lagi aku berani jujur. Aku menghirup napas panjang.

“Ka…” Aku menelan ludah. Kau berhenti dan membalikkan badanmu. Menanti kata-kata dari mulutku. Kali ini, aku beranikan menatap matamu.

“Ka…”

“Ya?”

Angin berdesau membelai pipiku. Seolah memberi semangat. Aku berdiri, saking gugupnya hampir saja menjatuhkan gelas cendol di atas meja.

“Ka, kau belum membayar cendolmu. Dan kau masih punya utang cendol denganku.”

Kau terpana sedangkan Mas Eko mengikik geli di seberang sana.