Liputan6.com, Jakarta Sebuah pintu gerbang bertulis “Selamat Datang di Kota Ruteng” menyambutku. Seketika muncul perasaan lega, “Akhirnya sampai juga”, gumamku. Untuk sampai ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, dari Labuan Bajo saya harus menjelajahi perjalanan darat selama 3 jam di medan ekstrem Trans Flores Labuan Bajo-Ruteng Februari tahun lalu. Yang saya maksud dengan medan ekstrem adalah jalanan berkelok-kelok bak ular berjalan. Kontur jalan yang menanjak menikung tajam lalu menurun mengocok isi perut berulang kali, untung tak sampai keluar saat berada di dalam mobil.
Baca Juga
Baca Juga
Cuaca siang itu sangat cerah, awan-awan putih seperti kapas menghias langit Ruteng yang biru. Jarum jam menunjuk angka 12.30 Wita. Sekalipun matahari bersinar cukup terik, namun udara saat itu terasa sejuk. Berbeda ketika kaki menapaki Bandar Udara Komodo Labuan Bajo. Meski masih pagi 08.00 Wita, udara panas langsung menampar wajahku.
Advertisement
Iklim sejuk dan basah yang dimiliki Kota Ruteng adalah karena letak Kota Ruteng yang berada di dataran tinggi 1.200 meter di atas permukaan laut, tepatnya di kaki Gunung Anak Ranaka. Perbukitan hijau yang mengepung ibu kota Manggarai ini membuatnya memiliki suhu lebih dingin dibanding kota-kota lain di Flores. Saya pun telah menyiapkan jaket dan sweater tebal untuk membungkus badan saya saat malam tiba di mana suhu bisa mencapai 8 derajat celsius.
Seribu biara
Seribu biara
Selain memiliki hawa dingin dan sejuk, Ruteng juga memiliki banyak biara, sebuah rumah pertapaan bagi para biarawan dan biarawati Katolik atau yang sering disebut suster. Sepanjang perjalanan di sisi kanan dan kiri, banyak sekali bangunan Biara. Hanya berjarak sekitar 50 hingga 100 meter lagi-lagi saya menjumpai biara dari berbagai kongregasi religius. Saya tak sempat mengingat nama-nama biara itu.
Saking banyaknya, banyak orang menjuluki kota ini dengan “Kota Seribu Biara”. Jumlahnya memang tak sampai seribu, namun untuk sebuah kota kecil yang hanya memiliki luas wilayah 7.136,4 km² berdiri lebih dari 52 komunitas biarawan/biarawati dari bermacam kongregrasi religius berbagai negara di belahan dunia . Karena itu, julukan “Kota Seribu Biara” rasanya sangat pas untuk Kota Ruteng.
Berdasarkan catatan sejarah, Bangsa Portugis memang pernah menancapkan kekuasaannya di kota ini. Menguasai hasil bumi seperti kopi, cengkeh, vanili, kakao, kemiri dan hasil bumi lainnya terutama beras. Karenanya penduduk Pulau Flores pada umumnya dan Ruteng khususnya, 90 persen masyarakatnya beragama Katolik.
Tak hanya bangunan biara, bangunan gereja pun banyak dijumpai disini. Tak heran pula jika Ruteng juga dijuluki sebagai “Kota Seribu Gereja”. Gereja Santo Yoseph atau yang disebut Kathedral Lama adalah bangunan yang termegah di zamannya. Terlihat dari model arsitektur tua yang kental bergaya Eropa, dengan atap runcing menjulang. Begitu pula dengan bangunan Gereja Kathedral yang baru, pun tetap mempertahankan sentuhan arsitektur Eropa.
Sebagai ibu kota Kabupaten Manggarai, menjadikan kota Ruteng sebagai pusat perekonomian. Berbagai prasarana penggerak ekonomi seperti kantor pemerintahan, komplek bisnis, pasar, rumah sakit, sekolah negeri dan sebagainya dibangun oleh pemerintah kota. Namun beberapa sekolah swasta seperti sekolah tinggi, SMA, SMP hingga SD di Ruteng banyak didirikan oleh komunitas biara. Sayang belum ada sebuah Universitas di Kota ini.
Komunitas religius di Kota Ruteng, tak hanya fokus pada bidang pendidikan, kegiatan sosial dan kesehatan saja, beberapa komunitas biara mencoba mengembangkan sayap dengan berbisnis hotel dan penginapan.
Ruteng yang saat ini telah dikenal sebagai “kota seribu gereja”, “kota di atas awan” semakin menampakkan kecantikannya, sehingga mampu menarik wisatawan di luar Flores untuk datang. Peluang ini dimanfaatkan oleh Kongregasi Maria Berdukacita (MCB) untuk menyediakan hotel dan penginapan bagi para wisatawan yang hendak berwisata rohani dan wisata alam ke Kota Ruteng. Penginapan di Susteran St. Maria Berdukacita milik Kongregasi Maria Berdukacita (MBC) yang terletak di Jalan Ahmad Yani no. 44 Kota Ruteng adalah salah satu penginapan yang difavoritkan oleh para traveler.
Selama berkunjung 3hari 2 malam di kota ini, saya pun menginap di pertapaan milik Kongregasi Putri Karmel, yang terletak di sebuah lembah di kaki Gunung Ranaka di wilayah Wae Lengkas, Kelurahan Golodukal, Ruteng - Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah pertapaan yang sunyi, sepi jauh dari riuhnya kota, surga para penyendiri.
Berbeda dengan penginapan Santa Maria Berdukacita yang terbuka untuk umum. Penginapan milik Kongregasi Putri Karmel ini hanya disediakan bagi wisatawan religius untuk kegiatan seperti retret serta kegiatan rohani lainnya seperti yang saya ikuti kali itu yaitu kegiatan pelatihan menulis dan public speaking kepada mahasiswa STKIP St. Paulus Ruteng.
Advertisement
Kota Hujan
Kota Hujan
Tak hanya dijuluki sebagai “Kota Seribu Gereja”, “Kota di atas Awan”, dan “Kota Seribu Biara”. Satu lagi julukan diberikan untuk kota Ruteng yaitu “Kota Hujan”. Jika Jawa Barat memiliki Bogor sebagai kota hujan, Tanah Flores yang dikenal kering dan tandus pun memiliki kota dengan curah hujan tinggi, ya di Ruteng ini. Sehingga kota ini juga dijuluki sebagai “Kota Hujan”. Jadi, sama seperti Kota Bogor, Kota Ruteng hampir setiap hari diguyur hujan.
Saya saksinya. Saat berkunjung 3 hari di kota ini, hampir setiap hari merasakan sejuk bahkan dinginnya udara saat hujan mengguyur kota ini. Ketika matahari mulai meninggi, langit yang awalnya berwarna biru mulai terlihat putih dan perlahan menjadi gelap menandakan hujan segera turun Biasanya sebelum hujan, angin akan bertiup cukup kencang.
Apalagi tempat saya menginap berada di sebuah lembah, sehingga tiupan angin terasa begitu kuat. Hingga menimbulkan suara gemuruh seperti badai. Saya sempat ketakutan, dan bertanya ke suster penjaga yang terlihat tenang. Beliau mengatakan bahwa kejadian ini adalah hal yang biasa, karena terjadi hampir setiap hari. Hujan tak hanya terjadi saat pagi atau siang hari, tapi juga malam. Tiupan angin yang berhembus masuk melalui kisi-kisi jendela kamar. Hujan yang terus mengguyur malam itu, tak ayal memaksa saya untuk mengenakan jaket tebal, kaos kaki, selimut serta tutup kepala. Dan saya pun tertidur dalam gelapnya malam.