Sukses

Tersesat di Lanskap Savana Raksasa Sumba Barat

Sebagian besar wilayah Sumba, khususnya Sumba Barat berbukit. Tapi inilah yang menjadi surga bagi para hewan ternak

Liputan6.com, Jakarta Alam Nusantara menyajikan berjuta pesona keindahan, hingga membuat saya seolah tak pernah kehabisan tinta untuk terus menorehkan kisahnya. Satu kesempatan tak terduga membawa saya ke sebuah pulau yang berada di selatan Pulau Flores berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Sebuah pulau yang tak hanya dikenal dengan pantai-pantainya yang eksotis dan perawan tapi juga padang savana yang luas tak terbatas. Ya, dialah Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Seperti umumnya wilayah Nusa Tenggara Timur yang terkenal kering dan tandus, demikian pula Sumba. Sebagian besar wilayah Sumba, khususnya Sumba Barat berbukit. Topografi yang berbukit-bukit ini mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi. Kondisi topografi tersebut telah mempengaruhi penggunaan lahan oleh masyarakat. Data menunjukan bahwa hanya 5,63 persen dari luas wilayah dimanfaatkan untuk areal persawahan (22.800 ha), sedangkan 94,37 persen berupa lahan kering dan tandus yang dimanfaatkan untuk tegalan atau ladang, perkebunan, dan padang.

 

Lahan kering hanya menjadi tempat yang subur bagi rumput dan ilalang. Saking suburnya, hingga membentuk sebuah hamparan karpet rumput atau sering disebut padang sabana/savana. Kontur tanah yang berbukit dan tak rata serta hamparan padang savana yang menutupinya dari jauh terlihat seperti lanskap savana raksasa.

2 dari 3 halaman

Seperti Afrika

Seperti Afrika

Pemandangan lanskap savana raksasa yang luas tak berbatas ini saya jumpai saat perjalanan dari Weetebula (Sumba Barat Daya) menuju Pantai Mamboro (Sumba Barat). Sesaat saya dibuat takjub oleh pemandangan yang baru pertama kali saya saksikan. Sejenak saya pun bertanya, “Ini di Indonesia ya?” gumamku.

Apa yang saya lihat mengingatkan pada sebuah channel di televisi, National Geographic. Saya seperti berada di Afrika. Namun hewan-hewan seperti gajah, harimau, dan kumpulan banteng tak nampak di sini. Kenyataan ini menyadarkan bahwa saya tidak sedang di Afrika. “Ini di Sumba-Indonesia Wulan, bukan di Afrika!,”seruku dalam hati mengingatkan diri.

Warna cokelat keemasan mendominasi padang savana saat itu. Karena datang pada Bulan Mei, bertepatan dengan pergantian musim hujan ke musim kemarau, hujan sudah jarang turun di Tanah Sumba. Meski begitu, padang savana yang telah mulai mengering ini tetap tak kehilangan pesonanya. Keelokannya makin memesona manakala berpadu dengan birunya cakrawala yang berhias gumpalan awan putih. Tak ayal pemandangan ini membuat saya dan enam teman di dalam mobil memaksa pak sopir untuk menghentikan laju kendaraan.

Satu per satu kami keluar dan berpencar mencari spot yang bagus untuk difoto. Puas dengan hasil jepretan kamera, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pantai Mamboro. Namun lagi-lagi sopir harus menghentikan mobilnya setiap kali kami berteriak minta berhenti, untuk mengabadikannya.

Teriakan paling histeris kami saat melihat kawanan kerbau serta seorang gembala melintas di tengah-tengah savana. Kami pun bergegas untuk mengabadikan moment tak biasa ini. Paling tidak bagi yang sudah lama tinggal di kota. Bahkan saya pun harus rela berlari ke tengah-tengah padang savana dengan rumput ilalang yang tingginya hampir setengah badan saya, demi berfoto bersama kerbau-kerbau itu dari jarak dekat.

Saking gembiranya bisa berfoto bersama kerbau di padang savana, sampai-samapi saya tak sadar, rasa gatal mulai muncul di paha, tangan dan badan. Rupanya celana panjang, dan kemeja berbahan katun telah penuh dengan rumput jarum yang menempel. Akhirnya sepanjang perjalanan saya pun sibuk garuk-garuk sambil mencabuti rumput jarum yang menempel di celana dan kemeja.

3 dari 3 halaman

Surga para hewan

Surga para hewan
Padang savana yang luas tak terbatas ini memang menjadi surga bagi para hewan ternak di Sumba. Luasnya padang membuat mereka leluasa bergerak dan makan rumput sepuasnya. Hewan ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan kambing dilepas begitu saja oleh para pemiliknya. Tak heran saat melintasi padang, beberapa sapi sedang merumput atau bersantai pasti akan tampak.

Bahkan beberapa kawanan kerbau menutupi jalan raya di tengah padang dengan santainya, hingga memaksa pengendara untuk menghalau mereka minggir. Inilah yang membuat sektor peternakan masih menjadi andalan di Sumba Barat. Ternak unggulan yang terkenal hingga manca negara adalah kuda yang biasa dikenal dengan nama kuda sandalwood.

Hasrat memotret sambil menikmati keindahan padang savana membuat kami terpisah dari iring-iringan kendaraan di depan. Sopir yang mengatar kami pun bergegas mengejar, namun rupanya kami sudah tertinggal cukup jauh.

Setelah berkendara satu jam dari penghentian terakhir, kami pun sudah mendekati tujuan yaitu Pantai Mamboro. Lucunya sopir tidak hafal jalan ke sana, karena untuk sampai ke Pantai Mamboro, tak ada jalan aspal. Pengendara harus berbelok ke kiri masuk ke padang savana. Setelah berputar-putar beberapa saat, sopir menyerah dan kami pun tersesat di padang luas ini.

Sopir hanya mengandalkan jejak kendaraan rombongan yang sudah lebih dulu sampai. Jejak itu tak juga dijumpai hingga memaksa kami minta bantuan pada sopir kendaraan di depan kami yang telah lebih dulu sampai. Saya tertawa dalam hati. Mencari jejak ban mobil di padang savana rupanya sama sulitnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami.